MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Dalam rangka penanganan pandemi Coivd-19, vaksinasi dibutuhkan sebagai upaya memutus rantai penyebaran wabah. Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah merasa perlu memberi tuntunan terkait pelaksanaan program itu.
Dalam Pengajian Tarjih edisi ke-118 pada Rabu (17/02), Tuan Guru Ruslan Fariadi menerangkan ihwal legalitas vaksin dalam perspektif Tarjih. Fatwa terkait vaksin ini merupakan kelanjutan dari sikap Muhammadiyah sebagai organisasi yang telah berkomitmen penuh dalam menanggulangi wabah ini sejak awal.
Saat ini pengembangan vaksin di dunia ada beberapa jenis, yaitu DNA, RNA, Non-Replicating Viral Vector, dan Inactivated (kuman yang dimatikan) yang telah dikembangkan oleh berbagai perusahaan. Hal tersebut bagi Tuan Guru Ruslan mesti ditelaah dengan tinjauan dari aspek kemaslahatan dan efektivitasnya. Aspek keagamaan juga tidak bisa luput dari persoalan variasi vaksin tersebut.
“Pemerintah memastikan proses uji vaksin untuk menjamin keamanan melalui proses yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan mendapatkan fatwa halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini menjadi pertimbangan Majelis Tarjih,” ujar Tuan Guru Ruslan.
Ruslan menerangkan Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyatakan bahwa Muhammadiyah mendukung pelaksanaan vaksinasi sebagai bagian dari upaya penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia, setelah semua kaidah keamanan, keefektifan, dan kehalalan vaksin terpenuhi sesuai standar BPOM dan MUI dengan beberapa catatan.
“Satu poin yang perlu diingat adalah vaksin bukan segalanya. Ini hanya sebagai salah satu ikhtiar untuk memberikan imunitas setiap warga baik yang pernah terjangkit maupun yang belum terpapar. Sekalipun telah divaksin, menaati protokol kesehatan tetap menjadi prioritas utama,” terangnya.
Ada beberapa poin yang disampaikan dalam tuntunan Tarjih terkait vaksin ini, yaitu: 1) Menjaga kesehatan merupakan hal yang wajib dilakukan sebagai bentuk ikhtiar; 2) Keadaan darurat yang terjadi hingga hari ini menuntut adanya upaya lebih untuk menghilangkan kedaruratan tersebut dengan cara menyegerakan dan memaksimalkan cakupan vaksinasi.
“Artinya, secara fatwa keagamaan, fatwa yang sudah disampaikan MUI maupun Majelis Tarjih, sudah memberikan jawaban-jawaban. Akan tetapi meski demikian masih ada setidaknya problem yang mesti diselesaikan bersama,” ungkap Ruslan.
Problem-problem tersebut meliputi aspek persuasif. Bagi Ruslan, kampanye legalitas vaksin tidak bisa dengan cara menakut-nakuti masyarakat. Alangkah baiknya diseminasi vaksin dilakukan dengan cara edukatif yang tidak cukup hanya menggunakan bahasa hukum.
“Selain itu, model komunikasi juga penting baik itu pemerintah, tokoh agama, kesehatan, dan yang lainnya. Penegakan aturan juga penting, tidak tebang pilih. Ini jadi hal penting. Kalau pun salah, vonis salah, siapapun itu,” tutur Ruslan.