MUHAMMADIYAH.ID, SULAWESI UTARA – Dalam dinamika organisasi, singgungan di antara sesama pegiatnya dianggap wajar. Meskipun begitu, konflik yang ada harus segera diselesaikan dengan islah dan ukhuwah, demikian pesan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir.
Dalam forum Pendataan dan Pembinaan Masjid-Mushola Muhammadiyah se-Sulawesi Utara, Ahad (27/6), Haedar mengibaratkan singgungan itu bagaikan api. Sehingga jika tidak dikelola dengan benar, suatu saat akan mampu berubah menjadi kerugian.
“Yang harus kita perkokoh agar Muhammadiyah ini tumbuh kokoh berkembang adalah kebersamaan dalam satu kesatuan gerak. Namanya ukhuwah, namanya ta’awun, namanya silaturahmi. Itu harus hidup menjadi pengikat kita,” kata Haedar.
“Jadi silaturahmi itu bukan di kala normal, menghubungkan yang sudah terhubung. Tetapi menyambung yang sudah terputus atau kena korsleting gitu kan. Nah kita Muhammadiyah itu wajarlah antar satu, antar lain, antar bagian ada korsletingnya gitu. Tapi ga boleh kebakaran gitu. Korsletnya sedikit-sedikit saja sebagai bumbu gitu kan. Itu biasa. Tapi jangan biarkan korsleting itu seperti kebakaran pasar. Sudah terbakar pasarnya ga dapat ganti lagi, kan berat,” pesannya.
“Maka usahakan islah dan rekat kebersamaan. Ujian silaturahmi itu tadi, di kala ada korsleting. Sambung. Ketika kita salah minta maaf, ketika kita benar kita beri maaf. Wah kaya sekali Islam itu dan itu ciri orang bertakwa,” tambahnya.
Jika ada masing-masing pihak yang berkonflik, maka dipesankan Haedar untuk berbesar hati, mengalah dan mengingat bahwa ada misi bersama yang hanya akan berhasil jika dilakukan dengan kebersamaan.
“Maka jangan membesar-besarkan konflik dan centang perenang. Yang kecil kita eliminasi menjadi hilang, yang besar semakin kecil. Yang kecil jangan dibesarin, apalagi yang besar menjadi kebakaran. Kan gitu. Muhammadiyah itu hidup karena itu. Saling asa, saling asuh dan sebagainya dan semua harus dengan keikhlasan,” pesannya.
“Percaya pada saya kalau kita menyelesaikan organisasi dengan Islah, itu barakah Allah bagi kita yang Islah. Tapi kalau yang bawa karep (kemauan) sendiri, ga mau menyatukan dalam kebersamaan, ga menyatukan dalam sistem biasanya juga berat beban hidup dia. In ahsantum ahsantum lakum, wa in ahsantum falaha,” tegas Haedar.