MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG—Secara bahasa, “syariah” berarti jalan untuk mengairi atau jalan yang lurus dan benar. Para sarjana hukum mengartikannya sebagai jalan hidup umat Islam. Menurut Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Barat Dadang Syarifudin, dalam penggunaannya, kata “syariah” sendiri memiliki tiga pengertian yang cakupannya berbeda-beda.
Pertama, syariah dalam konteks agama secara umum. Artinya, identik dengan al-din yang meliputi berbagai aspek kehidupan manusia. Semua aspek agama menjadi sebuah kesatuan: akidah, ibadah, akhlak dan muamalah. Pendapat ini didukung oleh Imam Al Qurthubi yang mengartikan syariah sebagai segala sesuatu yang disyariatkan Allah untuk hamba-hamba-Nya. Bahkan Ibn Taimiyah mengidentikkan syariah dengan Al Quran dan Al Sunah.
“Pengertian semacam ini sesuai dengan makna kata syariah yang terdapat dalam QS. Al Jatsiyah ayat 18,” tulis Dadang dalam kajian Gerakan Subuh Mengaji yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat pada Sabtu (05/03).
Kedua, syariah hanya berkaitan dengan pokok keyakinan. Pengertian ini sebagaimana yang diperlihatkan oleh seorang ahli fikih dari mazhab Hambali yaitu Ibn Baththah Al-‘Ukbari yang memberi judul kitabnya dengan Al Ibanah ‘an Syariat al Firqah al Najiyah. Isinya berisi penjelasan tentang syariah aqidah firqah najiyah dan menjauhi firqah yang dicela.
“Pengertian ini sesuai dengan makna kata syariah dalam QS. Al Syura ayat 13,” tutur dosen Studi Islam Universitas Muhammadiyah Bandung ini.
Ketiga, syariah hanya berkaitan dengan hukum-hukum ‘amaliyah (perbuatan). Pandangan ini didukung oleh Ibn Katsir yang membatasi syariah hanya pada perintah-peritah (al-awamir), larangan-larangan (al-nawahi), sanksi hukuman (al-hudud), dan ketentuan-ketentuan umum (al-faraidh). Sejalan dengan itu, pakar tafsir Imam al-Thabari mengatakan bahwa agama itu satu, sedangkan syariah itu banyak dan bermacam-macam.
“Pengertian ini sesuai dengan makna kata syariah dalam QS. Al Maidah ayat 48,” terang Dadang.