Oleh: Arif Jamali Mu’is (Wakil Ketua MDMC)
Akhir November 2020 pemerintah melalui kementerian pendidikan dan kebudayaan mengumumkan bahwa di bulan Januari 2021, sekolah – sekolah di Indonesia dapat melakukan pembelajaran tatap muka dengan berbagai syarat protocol kesehatan. Sebagian masyarakat menyambut baik keinginan tersebut dan seakan – akan berita mengembirakan karena hampir 10 bulan melaksanakan pembelajaran jarak jauh, sayangnya sebagain kita tidak membaca tuntas surat keputusab bersama 4 menteri berkaitan dengan pembelajaran tatap muka tersebut, hanya berhenti bahwa bulan januari 2021 sekolah masuk kembali.
Jika kita membaca secara komprehensif SKB tersebut maka kita akan menemukan substansi dari keputusan tersebut yaitu kehati-hatian dalam mengambil sikap. Indonesia ini sangat luas, berbagai faktor dan kondisi geografis harus menjadi pertimbangan dalam memutuskan apakah sekolah melakukan pembelajaran tatap muka, mungkin di daerah yang terpencil akses keluar masuk orang tidak banyak dan kasus covid19 masih sangat rendah bahkan tidak ada kasus covid19, maka sekolah bisa jadi melakukan pembelajaran tatap muka, tapi sebaliknya didaerah lain kasus covid19 sangat tinggi dan sangat berbahaya jika sekolah melaksanakan pembelajaran tatap muka. SKB 4 menteri tersebut sesungguhnya memberikan warning jika akan melalukan pembelajaran tatap muka maka masih ada bahaya yang mengancam anak – anak kita calon penurus kepemimpinan bangsa ini maka perlu aturan yang ketat seperti dalam SKB tersebut. Jadi jangan berhenti membaca judulnya saja bahwa januari sekolah dibuka.
Memahami SKB 4 Menteri
Didalam SKB 4 menteri tersebut ada dua pertimbangan penting dalam melaksanakan pembelajaran di saat pandemic wabah covid19, pertama keselamatan dan kesehatan peserta didik, pendidik/guru, tenaga kependidikan dan masyarakat, kedua tumbuh kembang peserta didik dan kondisi psikososial anak, kedua pertimbangan ini harus saling berkelindan, ketika kesalamatan dan kesehatan terancam karena wabah masih tinggi, positif rate masih diatas 5 % (standar WHO positif rate dibawah 5%) maka pembelajaran tidak bisa tatap muka, tetapi kepentingan pembelajaran harus tetap berjalan secara jarak jauh dengan harus memperhatikan tumbuh kembang dan psikologi anak. Logika ini tidak bisa dibalik misalkan karena pertimbangan tumbuh kembang anak dan faktor psikologi saat pembelajaran jarak jauh maka solusinya adalah tatap muka dengan protocol kesehatan yang ketat walau dalam kondisi wabah yang masih tinggi. Cara berfikir ini sangat bahaya bagi keselamatan peserta didik, guru dan masyarakat. Sudah tepatlah SKB 4 menteri tersebut menempatkan keselamatan jiwa sebagai urutan pertama dan psikologi anak diurutan kedua.
Dalam SKB tersebut disebutkan juga ada 10 faktor yang perlu menjadi perhatian dalam menentukan kebijakan pembelajaran tatap muka, dalam tulisan ini saya akan menyebutkan satu faktor yang jarang menjadi pertimbangan dan diperdebatkan oleh masyarakat, yaitu kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan, dalam bahas sederhana kesiapan rumah sakit. Faktor ini menarik untuk dicermati, kenapa masuk dalam pertimbangan pemerintah.
Kita saat masih dalam kondisi darurat wabah covid19, pilihannya hanya ada dua terpapar atau tidak, kemungkinannya tentu 50% : 50%. Pemerintah sadar betul bahwa dengan pembelajaran tatap muka berarti membuka peluang ada yang terpapar walau dengan protocol kesehatan yang ketat, oleh karenanya jika terpapar covid19 harapan penangannya ada di fasilitas kesehatan atau rumah sakit. Point pentingnya adalah pembelajaran tatap muka membuka peluang terpapar covid19 sehingga sekolah dapat melakukan usaha antisipatif. Ada satu point yang tidak terbahas dalam SKB tersebut, yaitu manajemen resiko jika ada warga sekolah yang terpapar covid19, apakah sekolah harus tutup kembali, berapa lama, bagaimana tracingnya, dimana isolasinya, dan lain sebagainya. Jika bersepakat bahwa proses pembelajaran tatap muka akan dilaksanakan maka selain protocol kesehatan dengan berbagai fasiltasnya maka sekolah juga harus mulai membentuk system kegawatdaruratan disekolah jika ada warganya yang terpapar covid19.
Bagaimana dengan DIY ?
SKB 4 menteri memberikan mandat yang besar kepada pemerintah daerah untuk menentukan apakah sekolah diizinkan melakukan pembelajaran tatap muka dengan berbagai syarat, dan juga memberikan wewenang kepada orang tua mengizinkan putra – putrinya melaksanakan pembelajaran tatap muka. Sekarang bola panas keputusan itu ada di pemda dan orang tua, termasuk pemda DIY. Jika kita bercermin melihat kondisi DIY hari ini, hampir diberbagai media mengatakan bahwa DIY dalam status merah dan tinggi wabah covid19, ada baiknya DIY harus bersabar menunda pembukaan sekolah pada bulan Januari demi keselamatan bersama, apalagi bulan desember ini ada Pilkada di tiga kabupaten dan libur akhir tahun yang selalu ramai wisatawan, maka potensi berkurumun dan penyebaran covid19 akan semakin besar. Jika kita khawatir anak – anak kita tertinggal pelajaran maka suatu saat bisa kita ajari kembali, tetapi kesedihan kadang tidak bertepi jika kita melihat anak – anak kita terpapar covid19. Walahu’alam Bishowab.
Tulisan ini sebelumnya telah terbit di halaman Kedaulatan Rakyat pada Sabtu (5/12)
Hits: 0