MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Selain memiliki sisi positif, bonus demografi yang digadang-gadang akan dialami Indonesia pada 2030-2040 juga menyimpan sisi negatif jika tidak dikelola dengan baik.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menganggap bonus demografi itu adalah modal yang harus diperhatikan melalui penguatan pendidikan anak usia dini. Sisi inilah yang menurutnya harus digarap oleh kader perempuan Muhammadiyah.
“Kalau kita bicara mengenai Sustainable Development Goals (SDG), ada perhatian penting mengenai family dan pendidikan anak usia dini yang sering disebut oleh para ahli psikologi sebagai the golden age, usia-usia emas di dalam kita membangun suatu kekuatan bangsa. Di kalangan psikolog behaviouristic misalnya mereka menantang bahwa kalau ingin membangun suatu bangsa yang unggul itu ya memang harus membuat generasi di bawah lima tahun,” kata Mu’ti, Sabtu (7/8).
Karenanya, kehidupan anak usia dini dianggap Mu’ti perlu diberikan perhatian lebih baik dari sisi psikologis, lingkungan, hingga jaminan gizi agar mereka tumbuh ideal menjadi generasi yang lebih kuat dan matang.
“Tapi sebaliknya ketika anak-anak itu mengalami masa kecil yang penuh dengan penderitaan kemudian mengalami berbagai masalah kekerasan, kekurangan gizi dan lain sebagainya maka itu bisa menjadi awal dari hilangnya satu generasi atau sering disebut sebagai lost generation, dan itu bisa kita lihat sebagiannya pada masa ini,” imbuhnya.
Ketahanan Keluarga Juga Harus Diperhatikan
Selain memberikan fokus pada kehidupan anak, ketahanan keluarga para keluarga muda yang kini mulai dominan juga dianggap Mu’ti wajib diberikan perhatian lebih.
“Kalau kita kemudian juga melihat makna keluarga dalam pembangunan bangsa, kita juga melihat bahwa makna keluarga itu adalah tiang negara. Kekuatan suatu bangsa itu dimulai dari ketahanan keluarga,” katanya.
Membawakan penjelasan dari David P. Goldman dalam bukunya yang berjudul How Civilization Die (And Islam Is Dying Too), Mu’ti menjelaskan bahwa kekuatan suatu bangsa dilihat dari jumlah penduduk, komposisi jumlah penduduk dan ketahanan keluarga dari suatu masyarakat.
“Salah satu contohnya adalah Jepang, misalnya. Pada saat kalah perang tahun 1945, Jepang memiliki bonus demografi sehingga Jepang bisa bangkit dan menjadi bangsa yang makmur tapi sekarang mereka harus berjuang luar biasa karena sebagian besar penduduknya adalah berusia lanjut,” terangnya.
“Dalam pantauan saya, sebagian besar anggota Nasyiatul Aisyiyah itu adalah ibu-ibu muda yang memang mereka membangun keluarga-keluarga muda dan ini memiliki makna penting dalam konteks Indonesia masa depan. Kalau kita melihat Indonesia masa depan maka kita memang harus melihat keluarga Indonesia masa kini,” tutup Mu’ti.