MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Pemberi fatwa atau Ifta’ merupakan sebuah institusi yang telah hadir sejak Islam pertama kali masuk di jazirah Arab. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa Nabi Saw sendiri adalah mufti pertama. Sebab Nabi Saw banyak menerima pertanyaan dari kalangan sahabat. Beberapa pertanyaan tersebut kadang dijawab oleh wahyu, ada pula melalui Sunnah Nabi.
Syamsul Anwar mengatakan bahwa fatwa menandai keunikan hukum Islam sebagai suatu sistem. Hukum ini memiliki dua lembaga interpretasi hukum yang berbeda.
Pertama, peradilan (al-qadli) yang interpretasinya terhadap hukum syariah bersifat formal serta mengikat. Penanggungjawabnya adalah qadli (hakim), yang merupakan aparat negara. Kedua, ifta’ yang interpretasi hukum melaluinya bersifat non-formal dan tidak mengikat. Penanggungjawabnya adalah mufti, bisa merupakan aparat negara bisa juga tidak. Misalnya, di Mesir, Mufti Negara di Dar al-Ifta adalah pejabat negara dan diangkat memang khusus untuk tugas memberikan fatwa.
Sementara di Indonesia ada sejumlah lembaga yang memberikan fatwa seperti MUI, Bahtsul Masail, dan Majelis Tarjih, namun lembaga-lembaga ini bukan pejabat atau aparatur negara.
“Fatwa adalah penjelasan mengenai hukum syar’i tentang suatu masalah, baik yang ditanyakan maupun yang tidak ditanyakan. Fatwa juga menjadi salah satu dari dua lembaga intepretasi syariah yang dua lembaga itu adalah qadli dan ifta,” terang Syamsul dalam bedah buku Fatwa Ramadan yang diselenggarakan IBTImes.id pada Rabu (30/03).
Pakar hukum Islam ini menjelaskan bahwa fatwa berfungsi sebagai sumber rujukan tuntunan keagamaan. Namun fatwa tidak hanya sekadar memuat penjelasan tentang hukum agama mengenai suatu masalah.
Lebih dari itu, himpunan fatwa merupakan rekaman historis yang menjadi sumber sejarah sosial dari suatu komunitas pada zaman tertentu. Fatwa-fatwa Majelis Tarjih yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama, misalnya, berisi tentang ragama persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, sejak dari masalah akidah dan ibadah sampai masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini menuturkan bahwa fatwa merupakan jembatan antara cita ideal syariah di satu pihak dan realitas kongkret masyarakat di pihak lain. Problem, keprihatinan, permasalahan, harapan-harapan, aspirasi dan pengalaman masyarakat diangkat dan dikonfrontasikan untuk dicari titik temunya dengan cita moral dan etika-religius keagamaan dalam syariah.
“Baik peminta fatwa maupun sang mufti yang memberi fatwa, keduanya tidak berangkat dari sebuah ruang hampa. Mereka mesti memiliki aspirasi, pandangan, harapan, kepentingan dan bahkan mungkin juga berada di bawah tekanan baik tekanan politik, sosial, ekonomi dan pembatasan budaya,” tutur Syamsul.
Dengan demikian, fatwa secara keseluruhan sesungguhnya adalah sebuah pergulatan dalam dimensi yang luas: membawa beragam misi dan memuat kritik sosial, pembelaan terhadap status quo, dukungan atau sebaliknya perlawanan terhadap rezim yang sedang berkuasa, melakukan purifikasi agama dan pembaruan sosial, serta pencerahan terhadap masyarakat, bahkan juga pengobaran semangat juang melawan kaum penjajah seperti di era kolonialisme.