MUHAMMADIYAH.OR.ID, SURAKARTA—Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar menyatakan bahwa hukum Islam ternyata memiliki jenjang norma. Ada tiga jenjang norma dalam hukum Islam, di antaranya nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).
Syamsul menjelaskan bahwa nilai-nilai dasar memuat berupa norma-norma abstrak yang merupakan nilai paling esensial dan universal dalam hukum Islam seperti kemaslahatan, keadilan, kebebasan, persamaan, dan lain-lain. Nilai dasar ini tersusun dalam tiga kategori, yaitu: nilai dasar teologis (al-qiyam al-imaniyyah), nilai dasar moral-etis (al-qiyam al-khuluqiyyah), dan nilai dasar hukum (al-qiyam al-syar’iyyah).
“Nilai dasar dari teologi, misalnya, Tauhid. Nilai dasar teologis bisa berkembang macam-macam, tergantung bidangnya. Nilai dasar etis, misalnya, keadilan dan amanah. Nilai dasar hukum, misalnya, kemaslahatan dan persamaan,” tutur Syamsul dalam acara yang diselenggarakan Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) pada Senin (25/10).
Pakar Hukum Islam ini kemudian mengutarakan bahwa secara hirarkis nilai dasar ini dapat menjadi basis perumusan fikih baru atau menjadi payung dalam bangunan fikih kontemporer. Kemudian turunan dari nilai-nilai dasar ini ialah prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah). Prinsip universal ini terdiri dari dua hal yaitu doktrin-doktrin umum hukum Islam seperti asas-asas hukum Islam (an-nazzariyat al-fiqhiyyah) dan kaidah-kaidah hukum Islam (al-qawaid al-fiqhiyyah).
“Saya memaknai an-nazzariyat al-fiqhiyyah itu adalah asas-asas umum hukum Islam yang tidak diformulasi dalam formulasi yuristik singkat seperti halnya al-qawaid al-fiqhiyyah. Sebab al-qawaid al-fiqhiyyah itu biasanya ada formulasinya, misalnya ungkapan kaidah ‘al-adah muhakkamah’,” terang Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Setelah menentukan nilai dasar kemudian diturunkan menjadi prinsip universal, maka turunan berikutnya ialah ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah). Barulah di tingkat ketentuan praktis ini, fikih menentukan kesimpulan hukum taklifi seperti halal-haram, ketentuan wad’I rukun-syarat, dan bersifat instrumentalis.
“Selama ini kita memahami fikih hanya sampai pada level al-ahkam al-far’iyyah atau ketentuan hukum praktis. Padahal, al-ahkam al-far’iyyah ada basisnya yaitu al-qiyam al-asasiyyah dan al-ushul al-kulliyah,” jelas Syamsul.
Contoh sederhana penggunaan metode asumsi hirarkis ini, misalnya: nilai dasar persamaan, diturunkan ke prinsip umum menjadi setaranya antara hak laki-laki dan perempuan dalam ruang lingkup sosial, dan norma konkretnya adalah kebolehan menjadi pemimpin struktural baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah juga turut menggunakan teori norma berjenjang ini sebagai bangunan fikih Muhammadiyah. Karenanya, Istilah ‘fikih’ dalam Muhammadiyah dikembalikan ke makna aslinya, yaitu totalitas pemahaman terhadap ajaran Islam yang tersusun dari nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip-prinsip universal (al-ushul al-kulliyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).