MUHAMMADIYAH.OR.ID, PALEMBANG – Agus Syamsuddin mengatakan dalam mengembangkan rumah sakit Muhammadiyah ‘Aisyiyah (RSMA) tidak boleh meninggalkan visi misi awalnya. Misi penolong kesengsaraan umum yang utama itu harus tetap ada di RSMA.
Disampaikan Agus dalam Seminar Pra Muktamar Universitas Muhammadiyah (UM) Palembang bahwasannya banyak RSMA yang tumbuh dari bawah kemudian dikelola secara mandiri sehingga sebagian berasal dari klinik. Kemudian biasanya di awal lebih less profit oriented (kurang berorientasi pada keuntungan)
“Tetapi seiring berjalannya waktu dan berkembangnya tantangan yang dihadapi setidaknya di tahun 2020-2022 ini yang pertama adalah terkait dengan pandemi kita tidak bisa bergerak maka akan kesulitan,” terang Ketua Majelis Pembina Kesehatan Umum (MPKU) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah ini, Kamis (24/3).
Maka seiring perkembangan teknologi digital, perubahan perilaku, regulasi, ekonomi, dan kompetisi, RSMA perlu meningkatkan diri dan berbenah menuju keunggulan.
“Di Indonesia sekarang sudah ada 3000 ribu rumah sakit dan kontribusinya sekarang rumah sakit swasta yang berjejaring bisa 10-20% dari segi jumlah apalagi dari sisi omset. Misalnya satu rumah sakit di jakarta itu omsetnya bisa sampai 750 milyar pertahun ini kan luar biasa kemudian siapa yang bisa berubah disitu tentu saja di kelas-kelas tertentu. Nah ini tantangan yang sangat luar biasa oleh karena itu kita harus melihat ini sebagai sebuah untuk membantu kita meningkatkan semangat bahwa disrupsi maupun perubahan-perubahan ini sebagai keniscayaan yang harus kita alami,” jelas.
Kemudian kalau berpikir tentang amal usaha ada dua hal yang menjadi perhatian, kata Agus, ada yang harus tetap tidak boleh berubah tetapi ada yang harus berubah. “Yang harus tetap adalah misi awalnya sebagai penolong kesengsaraan umum itu rumah sakit tidak boleh berubah tetapi yang harus berubah adalah way of doing bisnisnya (cara melakukan bisnisnya) digitalisasi gimana, keunggulan medis gimana. dan menurut saya framework ini tidak hanya untuk rumah sakit tetapi juga untuk perguruan tinggi,” ucapnya.
Agus menegaskan bahwa bisnis dan kemanusiaan itu tidak boleh dipertentangkan tapi bagaimana usaha rumah sakit ini lebih bagus sehingga amal Persyarikatan menjadi lebih baik. “Kuncinya apa ? kita harus mendefinisikan secara lebih detail di dalam bisnis kita,” kata dia.
“Yaitu kalau amal itu maunya kita amalnya apa saja, selama ini kan yang secara spesifik melakukan target dari isi amal kecuali jawa timur. Misalnya saya nyontek dari jawa timur 5% dari amal usaha itu untuk dakwah. Kalau kita memang direncanakan dari awal bahwa 5% dari pendapatan rumah sakit dilakukan untuk dakwah maka kita bisa menggunakan dana itu untuk amal dan dakwah yang lebih banyak. Atau kita bisa mengatakan bahwa dimana ada rumah sakit Persyarikatan akan lebih hidup karena dia bisa membantu menggerakkan Muhammadiyah ‘Aisyiyah dan ortom secara keseluruhan,” sambungnya.
Kedua, kata Agus, dari sisi tujuan usaha, pertumbuhan bisnis misalnya ketika pemasukan hanya 5% sementara biaya yang dikeluarkan 10% maka kalau ini dibiarkan terus menerus maka amal usaha tidak akan bertahan karena rugi. Maka karena itu harus dipikirkan bagaimana usaha kita itu harus lebih agresif dan pertumbuhannya selalu di atas inflasi sehingga kita masih bisa tumbuh dan mengembangkan usaha.
“Dari sisi digitalisasi, kolaborasi itu menjadi keharusan. Dengan demikian jika tujuan-tujuan itu sudah ditetapkan maka perlu eksekusi,” tuturnya.
Untuk eksekusi memerlukan strategi. “Di Muhammadiyah itu sebagai rumah sakit islam maka konsep islaminya harus ada. Kedua, kita harus memiliki keunggulan. Saya melihat rumah sakit Muhammadiyah di kota-kota besar itu rata-rata masuk kelas 2. Tetapi kita cukup bagus disitu tantangannya bagaimana di ibukota provinsi lebih bagus lagi. Ketiga, membangun ketangguhan dari sisi finansial, sdm, dan sistem,” papar Agus.
Agus berharap ketiga strategi itu menjadi keunggulan tersendiri bagi RSMA dan akan membantu seluruh elemennya bekerja lebih baik.