MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Salah satu problem kronis yang dihadapi oleh bangsa ini ialah masalah korupsi. Pada tahun 2006, Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih dan Tajdid menyusun buku Fikih Antikorupsi. Muchammad Ichsan mengatakan penyusunan buku ini merupakan wujud partisipasi Persyarikatan dalam upaya pemberantasan praktik korupsi di Indonesia melalui pengembangan wacana keagamaan.
Muhammadiyah mendefinisikan korupsi sebagai penyalahgunaan kewenangan, jabatan, amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan umum. Bila praktik ini terus dibiarkan subur, dampaknya berupa kerusakan tatanan kehidupan, mengakibatkan kemiskinan, kebodohan, dan kemunduran.
“Dari definisi ini dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur dalam korupsi ini ialah tindakan mengambil atau menyembunyikan harta publik atau perusahaan. Selain itu, sifat dari korupsi itu melawan norma yang sah dan berlaku serta melawan amanah untuk kepentingan diri atau kroni. Terakhir, merugikan,” ujar Ichsan dalam kajian di Masjid KH. Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Rabu (16/02).
Ichsan menegaskan bahwa pemberantasan korupsi secara sistematis dan simultan merupakan kebutuhan sangat mendesak (al-hajat al-dharuriyah). Karenanya diperlukan langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan sebagai upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satunya melalui jalur kultural. Setidaknya ada empat strategi dalam mengikis tindakan-tindakan melalui kultural ini, di antaranya:
Pertama, mengikis budaya permisif, hedonistik, dan materialistik. Korupsi mampu mengubah pandangan hidup masyarakat yang mulanya berlandaskan semangat gotong royong dan kekeluargaan menjadi masyarakat yang berpaham kebendaan. Mengubah masyarakat yang suka menolong menjadi masyarakat yang selalu mengharap pamrih.
“Akibatnya, parameter yang digunakan bersandar pada kenikmatan duniawi dan materi, sehingga pelakunya terdorong melakukan penyimpangan atau koruptif agar keinginannya terpenuhi,” ujar Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah ini.
Kedua, perlunya membangun budaya kritis dan akuntabilitas pada masyarakat, sehingga tidak memberinya ruang bagi lahirnya praktik korupsi. Seseorang akan berpikir berkali-kali lipat untuk melakukan korupsi karena masyarakat akan bersikap kritis dan sekaligus menuntut akuntabilitas terhadap jabatan atau amanah yang diembannya.
Ketiga, memberantas dan mengikis budaya kultus dan paternalistik yang sudah berlangsung secara turun temurun. Budaya ini melahirkan sikap ewuh pakewuh atau rikuh (sungkan) dalam upaya pemberantasan korupsi atau penyimpangan lain yang dilakukan oleh orang tertentu yang memiliki kedudukan terhormat di masyarakat.
Keempat, memberantas budaya instan yang telah mendorong praktik penyimpangan dan korupsi, karena segala sesuatu ingin diraih serba singkat dan tanpa bekerja keras. Akibatnya, etos kerja dikesampingkan karena dipandang memperlama proses pencapaian sesuatu yang diinginkan.
“Ingin cepat kaya, ingin memperoleh sesuatu dengan cepat, ingin urusannya beres dengan cepat. Padahal semuanya ada proses, tidak semua harus serba instan. Budaya instan inilah yang seringkali mendorong perilaku koruptif. Karenanya budaya ini juga harus kita kikis habis,” tutur Dosen Magister Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Hits: 117