MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah menunjukkan peran penting dalam membantu mengurangi permasalahan sosial dan ekonomi. Sebagai investasi yang tidak habis dikonsumsi, maka wakaf ini dapat dikembangkan menjadi modal produktif yang hasilnya dapat digunakan untuk membiayai kehidupan beragama.
Anjuran itu antara lain terdapat dalam firman Allah:“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Ali ‘Imran: 92). Dalam hadis disebutkan: “Rasulullah Saw bersabda: Apabila seseorang meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga, yaitu: shadaqah jariyah (wakaf) ilmu yang bermanfaat dan anak yang shalih.” (HR. Muslim).
Dalam pada itu wakif juga diberi kebebasan untuk memberi persyaratan terhadap harta yang diwakafkan –sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Syara’. Dalam qaidah fiqhiyyah, disebutkan bahwa syarat yang ditentukan oleh wakif mempunyai kekuatan hukum seperti yang ditetapkan oleh Syara’. Atas dasar ka’idah ini, wakif diberi kebebasan untuk meniatkan atau mengikrarkan tujuan wakafnya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan Syara’. Di antara ketentuan Syara’ yakni, mendatangkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan.
Kemashlatan sebagai dasar dari ajaran Islam, dijelasan oleh Ibnul-Qayyim bahwa sesungguhnya syari’ah dibangun dan didasarkan kepada hikmah dan kemaslahatan hamba baik untuk kehidupan dunia mapun untuk kehidupan akhirat. Sejalan dengan pernyataan Ibnul-Qayyim, asy-Syathibi menegaskan bahwa ditetapkan hukum-hukum Syariah tidak lain adalah untuk kemaslahatan hamba dalam kehidupan di dunia sekaligus dalam kehidupan di akhiratnya.
Sedangkan yang berkaitan dengan menghindari kerusakan, banyak ditemui ayat-ayat al-Quran yang berisi larangan untuk berbuat kerusakan. Di antaranya: “dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan” (QS. al-Baqarah: 60); “…dan mereka berbuat kerusakan dimuka bumi dan Allah tidak menyukai orang-orang yang membuat kerusakan” (QS. al-Maidah: 64); dan“… dan janganlah kamu mengikuti jalan orang-orang yang membuat kerusakan” (QS. al-A’raf: 142).
Islam juga melarang kerusakan karena daapt mendatangkan kerugian (kemadlaratan) bagi kehidupan manusia dan lingkungan sekitar. Dalam hadis disebutkan: “Diriwayatkan dari ’Ubadah Ibn Shamit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menetapkan tidak boleh membuat kemadlaratan dan tidak boleh saling melakukan kemadlaratan” (HR. Ibnu Majah).
Dalam Fatwa Tarjih yang terdapat di Majalah Suara Muhammadiyah No. 18 tahun 2008 ditegaskan bahwa di antara perbuatan yang tidak mendatangkan kemaslahatan dan dapat dipastikan akan menimbulkan kerugian adalah berlaku mubadzir. Islam melarang perbuatan mubadzir ini, sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah“… dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah Saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isra’: 26-27).
Jangan Menelantarkan Aset Wakaf
Dari pembacaan induksi tematis dalil-dalil di atas maka terhadap harta wakaf yang terlantar dikarenakan tidak ada dana untuk membangun sesuai dengan niat wakaf, maka dikembalikan pada hakikat tujuan wakaf yaitu maslahat bagi masyarakat. Jika demikian, maka tujuan wakaf sebagaimana yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif harus dijaga dalam arti harus diupayakan terwujudnya.
Sedangkan akibat tidak/belum tersedianya dana untuk mendaya gunakan harta wakaf seperti membangun, dan berakibat harta wakaf tersebut menjadi terlantar, maka sebisa mungkin harus dihindari. Hal itu dikarenakan penelantaran merupakan salah satu bentuk perbuatan mubadzir/pemborosan yang dilarang oleh agama. Untuk itu Nadzir dibenarkan mengelola harta wakaf tersebut dengan kegiatan-kegiatan produktif/komersial, yang kelak hasilnya adalah untuk mewujudkan niat wakif.
Konteks lain terkait harta wakaf yang terlantar karena tujuan wakaf yang diniatkan atau diikrarkan oleh Wakif dirasa kurang mashlahat sebab di tempat itu telah tersedia sarana yang sama. Dalam kasus ini, jika tujuan wakaf yang diniatkan atau diikrarkan oleh wakif dipaksakan untuk dilaksanakan, dapat ditebak bahwa harta wakaf baik tanah maupun bangunannya tidak akan mendatangkan mashlahat secara maksimal. Atau dengan kata lain membuka terjadinya perbuatan yang mubadzir.
Untuk menghindari tindakan mubadzir ini, dapat dilakukan penggantian tujuan wakaf, dengan tujuan yang lain yang paling besar mendatangkan kemaslahatan bagi umat/masarakat. Jika dipandang bangunan produktif/komersial seperti mall atau hotel adalah alternasi tujuan wakaf yang paling mendatangkan kemashlahatan, tentunya itulah yang dipilih. Namun jika ada alternasi lain, kiranya tidak salah untuk dikaji secara cermat, sehingga akan benar mampu mendatangkan kemashlahatan yang paling besar bagi umat atau masyarakat. Dalam hal ini dapat dipedomani qa’idah fiqhiyyah yang menyebutkan: Tindakan pemimpin terhadap rakyatnya terikat dengan kemaslahatan yang selektif (yang terkuat).
Hasil dari kegiatan produktif ini digunakan semaksimal mungkin untuk membiayai kegiatan amar ma’ruf nahi munkar–termasuk untuk membiayai kegiatan masjid, dakwah dan kegiatan kemanusiaan yang lain– di samping untuk biaya opersional kegiatan produktif itu sendiri. Dengan demikian sekalipun tujuan wakaf tanah itu misalnya untuk bangunan masjid, namun karena di tempat itu sudah berdiri masjid yang cukup representatif, maka penggantian dengan tujuan wakaf yang produktif yang hasilnya juga untuk masjid bahkan juga amar ma’ruf nahi munkar yang lain, tampaknya tidak akan mengurangi keutamaan dalam berwakaf.
Untuk teknis penggantian tujuan wakaf ini dapat dirujuk pasal 44 Undangundang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Perwakafan jo Pasal 48 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 tentang Wakaf.
Disarankan, jika terjadi penggantian tujuan atau peruntukan benda wakaf ini, hendaknya diberitahukan kepada wakif jika masih hidup atau ahli warisnya jika wakif telah meinggal dunia. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati wakif dan sekaligus untuk menjaga agar tidak terjadi salah sangka atau salah faham dari wakif atau keluarganya yang tidak menutup kemungkinan dapat menimbulkan akibat buruk yang sudah pasti tidak diharapkan oleh semua pihak. Dan berkaitan dengan pengadaan dana untuk mewujudkan tujuan atau peruntukkan wakaf, disarankan agar lebih ditingkatkan sosalisasi wakaf tunai kepada kaum muslimin.