MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Sepeninggal wafatnya Kiai Ahmad Dahlan, satu persatu murid beliau tampil menjadi pemimpin bangsa yang penuh dengan keteladanan. Ternyata, ketokohan itu tidak muncul begitu saja, tetapi dipersiapkan oleh Kiai Dahlan sendiri.
Dalam Pengajian Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Sabtu (20/3) Ustaz Muhammad Damami Zein menyampaikan bahwa Kiai Ahmad Dahlan memahami masalah kepemimpinan sampai tingkat penghayatan.
“Jadi Kiai Dahlan itu punya visi, pandangan ke depan tentang kepemimpinan. Bagaimana konstruksinya? Kita berangkat dari posisi strategis ulama,” tuturnya.
Menurut Zein, Kiai Dahlan memahami ulama bukan hanya mengurus perkara keagamaan, tetapi juga mengurus kehidupan umat Islam siapapun juga. Kiai Dahlan mendasarkan pemahamannya pada makna pribadi yang bertakwa (muttaqin) dalam ayat ke-102 Surat Ali Imran.
“Konsep ini yang dijadikan prinsip oleh Kiai Dahlan menentukan ulama di tengah masyarakat,” tuturnya. Ayat ke-102 Surat Ali Imran itu kemudian diperkuat oleh ayat ke-74 Surat Al-Furqan.
Ulama yang bertakwa itu dijelaskan oleh Damami Zein wajib memiliki integritas yang diakui oleh masyarakat sebagaimana umat di zaman Rasulullah mengakui integritas beliau termasuk pengakuan umat-umat di masa empat Khalifah yang terhadap integritas masing-masing Khalifah.
“Ini yang perlu diperhatikan oleh Muhammadiyah, yaitu genealogi kepemimpinan,” imbuhnya.
Adanya dinamika zaman, konsep kepemimpinan yang berangkat dari integritas dan ketakwaan ini boleh diartikan dalam bahasa yang berbeda asal intinya tetap sama.
Dari dasar ini, Damami Zein mencontohkan cara Muhammadiyah menyebut ulama dengan sebutan pimpinan, sebuah cara yang sama sekali berbeda dengan cara kelompok tradisional.
“Ulama tetap iya, tapi digeser menjadi ‘pimpinan’, jadi sejak dulu itu (Muhammadiyah memakai kata) ‘pimpinan’, bukan ‘pengurus’. Geseran dari ulama, dipahami dalam konteks modern menjadi pemimpin,” tambahnya.