Akibat dari politik etis, Indonesia pada awal abad ke-20 dipenuhi dengan berbagai gerakan pembebasan yang dipelopori oleh kaum terdidik, baik dalam bentuk kesadaran politik maupun sosial. Muhammadiyah yang lahir pada masa tersebut tidak muncul hanya sebagai gerakan dakwah di balik mimbar, tetapi bahkan gagasan yang dibawa Muhammadiyah jauh melampaui jamannya. Menjaga jarak dari politik, Muhammadiyah menjadikan inti ajaran Islam sebagai basis perlawanan terhadap kemiskinan, eksploitasi manusia, takhayul, hingga perlawanan terhadap bias dogma patriarki yang menghalangi para perempuan untuk maju.
Melalui organisasi ‘Aisyiyah, Siti Hajinah adalah satu di antara sekian nama perempuan Muhammadiyah yang memimpin perempuan melawan kepercayaan mapan di masyarakat bahwa surga ditentukan oleh para lelaki dan peran perempuan hanya boleh beraktivitas terbatas di tiga tempat: sumur, dapur dan kasur.
***
Dalam buku Peranan Wanita Indonesia dalam Masa Pergerakan Nasional (1992), G. A Ohorella, dkk., menyebut konsentrasi pergerakan wanita antara awal abad 19 hingga tahun 1927 baru sebatas perjuangan emansipasi sosial, sementara fokus politik bermula dari tahun setelahnya.
Pada masa itu, tercatat sejumlah usaha pergerakan perempuan antara lain sekolah rintisan R.A Kartini tahun 1903 di Jepara, Keutamaan Istri di Bandung tahun 1904, surat kabar Putri Hindia oleh R.A Tjokroadikusumo pada 1909, surat kabar Sunting Melayu oleh Rohana Kudus di Padang pada 1912 dan berbagai hal serupa di Jawa Timur, Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Jakarta, hingga Medan yang semuanya menyuarakan berbagai hal dari sudut pandang perempuan. Di masa itulah, tepatnya pada tahun 1906 Siti Hajinah lahir.
Sebagai putri seorang pengusaha batik terkenal H. Muhammad Narju, pendidikan Siti Hajinah terjamin dengan baik. Setelah belajar di Hollandsche Indlandsche School (HIS) Yogya, ia meneruskan di Fur Huischouds School (Sekolah Kepandaian Putri).
Meski dikecam oleh masyarakat setempat sebagai hal yang ‘tidak Islami’, Muhammad Narju tetap berani menyekolahkan Siti Hajinah di sekolah modern tidak lain karena dorongan Khatib Amin Masjid Gedhe Kauman yaitu Kiai Ahmad Dahlan agar anak-anak gadis disekolahkan di sekolah Belanda.
Di sekolah Belanda itulah perempuan seperti Hajinah tercerahkan. Junus Anies dalam buku Riwayat Hidup Nyai A. Dahlan Ibu Muhammadiyah dan Aisiyah Pelopor Pergerakan Indonesia (1968), menjelaskan bahwa meskipun Kiai Dahlan mendorong perempuan seperti Hajinah belajar di sekolah Belanda, tetapi para gadis dan perempuan tetap mendapat pelajaran agama Islam melalui perkumpulan pengajian perempuan bernama Sapa Tresna, yang di kemudian hari menjadi cikal-bakal organisasi ’Aisyiyah.
Kelengkapan dari sisi ilmu ini membuat Hajinah kelak diminta mengajar di beberapa sekolah seperti MULO Negeri Ngupasan, Neutrale MULO di Gondolayu dan MULO Negeri di Magelang.
Hajinah Berjuang di ‘Aisyiyah
Jika perempuan Muhammadiyah lain Siti Sukaptinah Sunaryo Mangunpuspito berjuang melalui jalur politik sebagai sekretaris Kongres Perempuan dan anggota BPUPK, maka Siti Hajinah menempuh jalur berbeda.
Di bawah ‘Aisyiyah, Siti Hajinah memilih jalur perjuangan perempuan dari sisi paling mendasar, yaitu ketahanan sosial.
Pada masa itu, ‘Aisyiyah menjadi organisasi ideal untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. Yunan Yusuf dalam buku Ensiklopedi Muhammadiyah (2005) menyebut berdirinya ‘Aisyiyah pada 19 Mei 1917 bertujuan untuk mendorong perempuan agar bergerak dalam berbagai bidang. Dari mengajar pengetahuan rumah tangga hingga kepandaian keputrian yang diasaskan dari ajaran Islam.
Bersama generasi pertama ‘Aisyiyah seperti Siti Bariyah, Siti Munjiah, dan Siti Walidah, Siti Hajinah kemudian menjadi salah satu tokoh yang paling diandalkan ‘Aisyiyah karena kecerdasannya.
Sebagai contoh, Lasa HS dalam Ensiklopedi Muhammadiyah (2002) mencatat pada tahun 1930 Siti Hajinah dikirim berkeliling Indonesia membawa misi ‘Aisyiyah di Sumatera, Kalimantan, Makassar, Gorontalo, Manado, pedalaman Senkang, Sulawesi hingga Manado, Ambon karena kemampuannya beretorika, pembacaan budaya setempat hingga kemampuan berbahasa Belandanya yang sangat baik.
Pendidikan perempuan adalah hal utama yang diperhatikan oleh Siti Hajinah. Tak heran, pada masanya menjabat sebagai pimpinan ‘Aisyiyah sejak 1927 hingga 1965, Siti Hajinah menyasar berbagai program strategis pembangunan Sumber Daya Manusia.
Mu’arif dan Hajar dalam buku Srikandi-Srikandi ‘Aisyiyah (2004) menguraikan gerak yang dituju Hajinah dijalankan mulai dari pendirian surat kabar Suara ‘Aisyiyah (1926, tetap bertahan hingga saat ini), pendirian percetakan, perpustakaan (bibliotheek) perempuan, penyediaan buku-buku bagi perempuan, Leesgezelschap (forum berlatih pidato), pengembangan TK Busthanul Athfal, pendirian dan pemeliharaan wakaf, mendorong pemberdayaan masjid dan musala sebagai tempat ibadah sekaligus tempat kegiatan pendidikan perempuan hingga gerakan pemberantasan buta huruf yang terus dijadikan sebagai program nasional ‘Aisyiyah.
Siti Hajinah Pejuang Perempuan ‘Aisyiyah
Siti Hajinah meyakini bahwa perempuan sesuai kodratnya tetap mampu berjalan dan mengambil peran beriringan dengan kaum pria untuk berkiprah dalam banyak hal di luar perkara domestik.
Tak cukup berjuang membimbing para perempuan ‘Aisyiyah pada kesadaran berorganisasi, Siti Hajinah juga bergabung sebagai pimpinan dalam organisasi perempuan lintas ormas Islam yaitu Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia (BMOIWI).
Geliat perjuangan perempuan semakin tajam pasca diadakannya Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 di Jakarta. Sebagai respon, dirancanglah Kongres Perempuan Indonesia Pertama pada 22 Desember 1928. Selain menjadi peserta, ‘Aisyiyah berperan sebagai salah satu inisiator lahirnya kongres tersebut.
Chusnul Hajati dalam buku Aktivitas ‘Aisyiyah dalam Meningkatkan Peranan Sosial Wanita di Indonesia (1985) menyebut keikutsertaan ‘Aisyiyah itu adalah wujud dari sikap aktif memperjuangkan cita-cita pergerakan perempuan Indonesia.
Di forum dengan peserta yang diperkirakan berjumlah 1.000 orang inilah, pidato fenomenal perempuan Muhammadiyah seperti Siti Munjiah berjudul “Derajat Perempuan” dan pidato Siti Hajinah berjudul “Persatuan Islam” diperdengarkan. Kelak, hasil dari perumusan Kongres ini adalah organisasi perkumpulan perempuan yang sekarang kita kenal sebagai KOWANI (Kongres Wanita Indonesia).
Di luar forum nasional, Siti Hajinah berjasa dalam usaha menciptakan ketahanan keluarga. Siti Hajinah pada 1954 mengusulkan agar ‘Aisyiyah mendirikan biro penerangan perkawinan di setiap cabang dan ranting.
Meluaskan tujuan ini, Siti Hajinah melalui Direktorat Urusan Agama Departemen Agama RI menginisiasi lahirnya Badan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4).
BP4 dibentuk untuk meluaskan gema perhatian biro konsultasi ‘Aisyiyah (1939) yang didirikan untuk mewujudkan keluarga bahagia.
Pada Ahad 27 April 1991, perempuan pendobrak dari Muhammadiyah ini menghembuskan nafas terakhir dalam usia 80 tahun di RSU PKU Muhammadiyah. Mantan Ketua Umum PP ‘Aisyiyah lima periode, Siti Hajinah dikebumikan dengan damai di Pakuncen, Wirobrajan, Yogyakarta.
Editor: Fauzan AS