MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA—Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Abdul Mu’ti tegaskan bahwa sikap ekstrimisme tidak hanya berkait urusan agama. Menurutnya, jika dikaji dari berbagai referensi, ekstrimisme juga terjadi di politik, budaya, dan ideologi-ideologi lain.
Dunia yang berlari cepat mengajak penghuninya untuk bisa rukun, damai dan toleran. Tapi pada kenyataannya, baik level lokal, nasional maupun internasional masih ada phobia-phobia terhadap hal-hal tertentu, termasuk phobia terhadap agama-agama tertentu.
“Kita melihat bahwa ekstrimisme itu ada pada lingkup budaya dengan munculnya rasisme atau munculnya fasisme yang itu juga masih eksis di dalam kehidupan masyarakat disebut dengan masyarakat modern”. Ucap Mu’ti pada, Jumat (1/7) di Seminar Pra Muktamar ke-48 Muhammadiyah – ‘Aisyiyah.
Termasuk kelompok-kelompok yang mengusung dan memaksakan untuk mengikuti ideology-ideologi tertentu juga tergolong sebagai tindakan ekstrimisme. Guru Besar Pendidikan Islam ini menjelaskan bahwa, ekstrimisme jika ditarik ke akar katanya merupakan sikap berlebih-lebihan yang berkaitan dengan pandangan maupun perilaku tertentu.
Di sisi lain, dalam lingkup yang lebih juga ada fenomena xenophobia yang ketakutan kepada orang asing atau ketakutan kepada kelompok yang berbeda. Sementara itu fenomena islamophobia, kata Mu’ti, di sisi kerap kali beririsan atau dalam konteksnya mereka anti terhadap semitic religion.
“Itu semua adalah bagian dari realitas dunia modern, di mana ekstrimisme itu ada di mana-mana, tidak hanya ada di agama, bahkan juga tidak terbatas pada agama tertentu”. Imbuhnya.
Terkait dengan munculnya diskursus moderasi beragama, maka itu tidak bisa dilepaskan dari fenomena ekstrimisme agama. Istilah moderasi tersebut, ucap Mu’ti, merupakan efek samping dari diskursus ruang publik yang saat itu membincang isu tentang adanya radikalisme yang diupayakan hilang melalui deradikalisasi.
Terkait pemilihan istilah deradikalisasi sebagai upaya menghilangkan radikalisasi, sejak awal Muhammadiyah tidak sepakat dengan istilah tersebut karena terdapat problem definisi yang mendasar dari istilah deradikalisasi dan radikalisasi. Termasuk dalam diskursus publik internasional, istilah deradikalisasi sudah tidak digunakan.
“Kemudian dikembangkan istilah counter violence extremism (CVE), yang di situ juga menggambarkan ada ekstrimisme yang dia itu tidak bernuansa dan tidak menggunakan kekerasan, da nada ekstrimisme yang memang dia dilandasi oleh pemahaman yang ekstrim dan juga sikap yang melegalkan tindakan kekerasan”. Urainya.
Hits: 15