MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Ada banyak perubahan modernisasi Masjid Istiqlal sejak Presiden Joko Widodo meresmikan renovasi masjid ini, pada Kamis 7 Januari 2021. Modernisasi Masjid Istiqlal tidak hanya terlihat lebih rapi, megah dan indah tetapi modernisasi lewat pelayanan dengan aplikasi e-istiqlal hingga pengelolaan manjamennya.
Modernisasi Masjid Istiqlal ini disambut baik Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti. Ia mengaku terkesima dengan pembaharuan Masjid Istiqlal yang luar biasa, apalagi ada new face (wajah baru) yang nanti akan ada danau dan tamannya.
“Saya kira ini menjadi contoh yang luar biasa, apalagi letaknya strategis di sebelah Gereja Katedra,” kata Mu’ti, pada (28/1).
Mu’ti meyebut kalau modernisasi Masjid Istiqlal bisa dikembangkan dengan pendekatan sosiologis dengan kultur masyarakat kota bisa menjadi model replikasi Masjid Jami’ di provinsi, kabupaten/kota yang memang dikelola oleh pemerintah setempat. Dimana tradisi keagamaan dan pemerintahan terjalin dengan kuat.
Mu’ti berharap keberadaan Masjid Istiqlal menjadi milik semua umat Islam seperti jembatan yang menghubungkan antar sesama umat Islam dan juga antarumat Islam dengan umat lainnya.
Dalam kesempatan yang sama Mu’ti saat menjadi narasumber Mudzakarah Tematik “Revitalisasi dan Optimalisasi Fungsi Masjid sebagai Sarana Pendidikan Ulama” , juga menyambut baik adannya optimalisasi peran Masjid Istiqlal untuk pengajaran dan pendidikan.
Untuk itu, Mu’ti mendorong pengajaran yang dilakukannya harus membuat orang berfikiran terbuka, punya perspektif luas, sehingga lebih toleran. Meskipun ia tetap memilki pilihan mazhab masing-masing, namun pandangannya terbuka dan menghargai orang lain.
Guru Besar Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah ini mencontohkan adanya fenomena menarik dikalangan kelas menengah muslim perkotaan yaitu adanya istilah ‘spritual hangout’. Dimana seseorang yang bekerja di instansi atau perusahaan dari pada setelah pulang kerja menghabiskan kemacetan dijalan mereka melakukan hangout di masjid yaitu dengan mengikuti pengajaran dan pengajian-pengajian.
Secara spesifik Mu’ti menyarankan pengajaran dan pendidikan di Masjid Isqlal dengan beberapa model. Pertama, model spesialis tetapi dengan kurikulum yang terukur, misalnya studi khusus tafsir. Kajian tafsir ini mempunyai dua kategori yaitu kajian tafsir tertentu dan kajian tematik yang membahas tema-tema tertentu yang dikembangkan oleh para kiai dan ustad pengajar.
Kedua, kelas fikih dengan pengajian khusus dan fokus ke fikih. Ketiga, kelas akhlak tasawuf, dan keempat adalah kelas kajian kontemporer yang bersifat umum.
Kalau hal ini bisa dilakukan dengan baik, kata Mu’ti maka fungsi masjid menjadi sangat kuat sebagai aplikasi modernisasi. Sehingga kedepan Istiqlal ada kelas di lantai-lantai tertentu lewat pengajaran dan kajian khusus. Tentu pengajaran berdasarkan kurikulum bukan sukarela.