MUHAMMADIYAH.OR.ID, LEBANON — Melihat Muhammadiyah memakai kacamata teori sosial, menurut Hajriyanto Y. Thohari, Muhammadiyah memiliki keidentikan dengan Durkheimian dan Weberian atau strukturalisme, akan tetapi yang membedakannya di Muhammadiyah itu individu atau agensi dianggap penting.
Menganggap penting individu atau agensi di Muhammadiyah, menurut Hajri, merupakan titik beda. Karena meski Muhammadiyah memiliki perhatian yang besar terhadap struktur masyarakat sebagaimana Durkheimian dan Weberian, akan tetapi tidak kalah penting bagi Muhammadiyah untuk memperhatikan individu.
Dalam Pengajian Ramadan 1443 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah pada, Rabu (6/4), Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Indonesia untuk Lebanon ini menjelaskan bahwa, sebagai gerakan agama yang autentik, apalagi bukan gerakan politik berjubah agama, Muhammadiyah harus menyikapi setiap perkembangan religiusitas masyarakat.
“Muhammadiyah memang sangat-sangat menjurus pada religiusitas, coba saja kita baca Muqaddimah Anggaran Dasar (Muhammadiyah),” ungkapnya.
Penegasan Muhammadiyah sebagai gerakan agama autentik disebutkan di Muqaddimah AD Muhammadiyah, yakni “Maka dengan Muhammadiyah ini, mudah-mudahan umat Islam dapatlah diantarkan ke pintu gerbang Syurga “Jannatun Na’im” dengan keridlaan Allah Yang Rahman dan Rahim”.
Dari kaca mata Hajri, religiusitas yang dibangun oleh Muhammadiyah itu mirip dengan religious experience, yakni agama Islam dapat diekspresikan oleh Warga Muhammadiyah dalam tiga ekspresi yaitu tindakan – termasuk ibadah, pemikiran, dan karya.
“Dalam bertindak devotional, dalam berpikir, dalam bertindak itu religious. Jadi idealnya seperti nabi,” tuturnya.
Gambaran individu religious yang ingin dibangun oleh Muhammadiyah adalah pribadi-pribadi yang mengacu pada Nabi Muhammad. Muhammadiyah menempatkan religiusitas bukan hanya pada sisi ibadah mahdhah, seperti salat dan puasa, akan tetapi dalam berpikir pun juga dituntut harus religious, termasuk bertindak.
Akan tetapi, kritik Hajri, dalam urusan seremonial keagamaan di Muhammadiyah masih terlalu sedikit dalam upaya mengembangkan religiusitas masyarakat. Menurutnya dalam tatanan masyarakat yang berubah atau ter-disrupsi, menjadi challenge bagi seremonial-seremonial keagamaan Muhammadiyah yang sedikit itu dalam mengembangkan religiusitas masyarakat.
Hajri menutup, bahwa asumsi tentang sedikitnya seremonial keagamaan Muhammadiyah untuk meningkatkan religiusitas sebagai gambaran umum. Menurutnya untuk memastikan keadaan tersebut perlu dilihat secara empiris melalui riset-riset yang dilakukan oleh Perguruan Tinggi Muhammadiyah – ‘Aisyiyah (PTMA).