MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Supriyatna mengungkapkan bahwa salah satu indikator keluarga sakinah adalah pernikahan yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Kesakinahan tidak hanya untuk regenerasi tapi juga berhubungan dengan akhlak pada Allah, diri sendiri, pasangan, anggota keluarga lain, Ulil Amri, tentangga dan juga lingkungan.
Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan. Supriyanto menjelaskan bahwa pada awalnya hukum Islam tidak secara konkret mengaturnya. Pada masa Rasulullah saw maupun sahabat belum dikenal adanya pencatatan pernikahan. Waktu itu pernikahan sah apabila telah diketahui warga masyarakat, diumumkan kepada khalayak luas, antara lain melalui media walimatul-‘ursy.
“Keluarga yang sakinah merupakan tujuan utama dalam pernikahan. Dalam Quran dan Hadis tidak ditemukan aturan pencatatan pernikahan. Dalam kitab-kita fikih klasik juga demikian. Dalam tradisi umat Islam terdahulu, pernikahan sah apabila telah memenuhi unsur-unsur dan syarat-syaratnya,” terang pakar Ahwal Syakhsiyah ini pada acara yang diselenggarakan Majelis Tabligh PP ‘Aisyiyah pada Jumat (24/09).
Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya karena perubahan dan tuntutan zaman dan dengan pertimbangan kemaslahatan, di beberapa negara muslim, termasuk di Indonesia, telah dibuat aturan yang mengatur pernikahan dan pencatatannya. Hal ini dilakukan untuk ketertiban pelaksanaan pernikahan dalam masyarakat, adanya kepastian hukum, dan untuk melindungi pihak-pihak yang melakukan pernikahan itu sendiri.
“Hampir di seluruh dunia Islam sekarang sudah dikenal ihwal pencatatan pernikahan ini. karena itu, peraturan pencatatan pernikahan yang dibuat di beberapa negara Islam itu merupakan sesuatu yang baru dan pembaharuan di bidang hukum pernikahan sebagai bagian dari hukum keluarga,” terang dosen Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Perubahan hukum semacam ini adalah sah sesuai dengan kaidah fiqhiyah yang berbunyi: Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman. Karenanya, substansinya ialah mewujudkan ketertiban hukum juga mempunyai manfaat preventif, seperti supaya tidak terjadi penyimpangan rukun dan syarat pernikahan, baik menurut ketentuan agama maupun peraturan perundang-undangan.
Dalam QS. Al Baqarah ayat 282 menegaskan bahwa untuk mencatat dalam hal muamalah, jual beli dan hutang piutang. Apalagi urusan pernikahan yang bukan muamalah biasa, bahkan disebutkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ ayat 21 sebagai perjanjian yang sangat kuat (mistaqan ghalidha), artinya sungguh ditekankan untuk dicatatkan demi kemaslahatan.
“Sekalipun, misalnya, pernikahan seseorang telah memenuhi semua unsur-unsur dan syarat-syaratnya dari wali hingga saksi, akan tetapi apabila tidak dicatatkan maka menurut Fatwa Tarjih pernikahan tersebut tidak sah,” tegas Supriyanto.
Hits: 105