Oleh: Sunanto
Salah satu ciri orang sehat adalah hidup bahagia. Namun kata bahagia sendiri sulit didefinisikan. Ada yang mengatakan bahagia itu senang, puas, dan gembira. Bisa jadi bahagia merupakan gabungan dari kata-kata tersebut.
Secara umum bahagia adalah sebuah keadaan ketika seorang merasa puas, senang, dan gembira. Seorang akan bahagia jika apa yang diinginkan menjadi kenyataan atau segala yang diharapkan dapat diraih.
Bisa juga segala yang dibutuhkan dapat dimilikinya. Itulah kebahagiaan yang menandakan keadaan hati manusia puas, senang, dan gembira. Pertanyaannya adalah apakah bahagia hanya berkaitan dengan pemenuhan hasrat pribadi?
Dari Crazy Rich sampai Siddharta
Tapi ternyata tidak semua orang yang punya segala-galanya bisa hidup bahagia. Seperti yang kita lihat pada fenomena crazy rich, apa yang diinginkannya dengan mudah didapat, tetapi belum tentu keadaan tersebut membuatnya bahagia. Merlyn Monroe, selebriti terkenal era tahun 70an, dengan mudah memiliki segalanya, kecantikan, dan ketenaran. Namun akhirnya ia mengakhiri hidupnya dengan cara yang tragis.
Berbeda dengan kaum miskin atau orang-orang yang hidup sederhana yang dengan usaha kerasnya akhirnya dia mendapatkan mimpinya. Pada saat itulah dia merasakan kebahagiaan. Artinya kebahagiaan itu terletak pada prosesnya yang sulit tersebut, bukan pada kemudahannya. Semakin menantang, berat, dan sulit, ternyata semakin membuat seseorang bahagia ketika mencapainya.
Siddharta Gautama merupakan anak seorang raja hebat. Hidupnya dipenuhi keindahan. Tinggal di istana ternyata tidak membuatnya bahagia. Akhirnya ia keluar dari istana untuk menjalani hidup prihatin. Dia bergaul dengan si miskin. Menderita seperti kaum papa pada umumnya. Merasakan lapar dan dahaga setiap hari. Titik puncaknya ia menjadi seorang resi, petapa, dan rahib. Pada kondisi itu dia merasakan kebahagiaan sesungguhnya. Merasakan kedekatan dengan Tuhan.
Begitu juga Nabi Saw ketika berumur 25 tahun merupakan puncak kebahagiaannya. Harta, posisi, dan istri sudah diraih semua. Cuma jabatan saja yang belum diraihnya. Namun semua itu tidaklah membuatnya puas. Akhirnya dia lebih suka menyendiri. Merenungkan tentang hakekat hidup. Hingga akhirnya di umur 40 ia mendapatkan puncak kebahagiaan, yakni ketika mengemban misi kenabian.
Banyak sekali contoh dalam kehidupan ini yang membuktikan segala bentuk kemudahan, harta, dan kemewahan ternyata tidak membuat seseorang bahagia. Bahkan terkadang ketika mereka meninggalkan itu semua, kebahagiaan itu baru dirasakan.
Teladan dari Sesepuh Muhammadiyah
Suatu ketika ada seorang mahasiswa yang lulus ujian dengan cara mencontek. Dia bisa saja bahagia karena kelulusannya, tetapi sesaat setelah dia sadar mengenai caranya lulus, kebahagiaan itu akan hilang selamannya menjadi sebuah penderitaan. Apa yang dapat dibanggakan bagi seorang pendusta dan penipu ketika lulus?
Berbeda dengan seseorang yang lulus ujian karena susah payahnya dalam belajar. Meskipun dia tidak mendapatkan hasil yang maksimal (A), tetapi mungkin hanya (B-), kebahagiaan yang dirasakannya jauh lebih besar ketimbang yang mencontek. Sebab dia tidak mengingkari dirinya sendiri. Ternyata jujur terhadap diri menjadi kunci kebahagiaan juga.
Jadi kebahagiaan tidak mungkin didapat dengan cara menyakiti orang lain. Saya pernah mendapatkan cerita dari salah seorang tokoh Muhammadiyah. Namanya Bapak Dahlan Rais. Beliau pernah berkompetisi untuk maju menjadi Anggota DPD RI dari Jawa Tengah. Singkat cerita dalam kompetisi politik tersebut beliau kalah. Suaranya tidak jauh berbeda dengan salah satu calon yang jadi. Namun hal itu diterimanya dengan lapang dada.
Tidak lama kemudian, setelah beberapa tahun berjalan, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang ke rumah beliau dan meminta maaf. Konon kabarnya orang tersebut merasa menderita dan berdosa pada beliau. Sebab telah melakukan kecurangan pada saat kompetisi politik beberapa tahun yang lalu. Dia juga diterpa musibah, anak semata wayang meninggal akibat kecelakaan motor. Dia merasa penderitaan itu akibat kecurangannya menggelapkan suara yang semestinya dimenangkan Pak Dahlan Rais.
Cerita singkat tersebut menandakan bahwa kebahagiaan tidak dapat diaraih di atas penderitaan orang lain. Pemimpin di level manapun dan apapun, ketika menyakiti rakyatnya, pendukungnya, dan konstituennya, sesungguhnya merasakan hal serupa. Mereka terlihat hebat, tetapi tidak pernah merasakan kebahagiaan. Dia hidup dihantui rasa dosa dan bersalah. Hari-harinya dipenuhi dengan penderitaan.
Begitu juga seorang ayah, ketika dia menghidupi keluargannya dengan cara yang tidak halal. Dia memberikan nafkah dari korupsi, menyuap, mencuri, menipu, bahkan mungkin merampok dengan berbagai cara yang elegan. Meskipun terlihat gagah, tetapi batinya sakit. Sebab dia tidak merasakan kebahagiaan itu menghampiri dirinya.
Setidaknya kisah ini memperkuat sesuatu yang tidak benar dalam proses, tidak akan menghasilkan kebahagiaan sama sekali. Hal ini tidak lain karena memang manusia itu jiwanya suci. Tidak mampu menerima segala keburukan yang dilakukan.
Orientasi Kebahagiaan itu Untuk Orang Lain
Jika kebahagiaan dilihat dari segi orientasinya, paling tidak ada dua, yakni: Pertama, yang diorietansikan kepada diri sendiri (ananiyah), dan kedua, yang dioerientasikan kepada orang lain (nahnuniyah). Misal seseorang bekerja keras, lalu kemudian mendapatkan gaji yang besar. Ketika awal bulan saat menerima gaji, dia kemudian membeli semua yang diinginkan dan dicita-citakan. Setelah mampu mendapatkan semua yang diinginkan, apakah dia puas atau bahagia? Teryata tidak.
Orang tersebut ternyata bulan depannya, mulai memikirkan barang-barang lain yang jauh lebih mahal, mewah, yang sebelumnya tidak terpikirkan olehnya. Bahkan sesuatu yang secara normal tidak perlu diperbaiki, direnovasi dan diganti menjadi lebih eksentrik lagi. Orang tersebut setiap bulan merasakan ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri. Semakin banyak gajinya, semakin terasa kekurangan di sana sini. Aku belum punya ini dan itu, pikirnya setiap hari seperti itu. Akhirnya kerjanya semakin semangat. Semakin menggila. Bahkan terkadang tidak perlu memikirkan cara yang halal lagi. Sedikit main kasar dan curang saja tidak mengapa, yang penting cita-cita besarnya tercapai.
Kerjanya setiap hari hanya untuk memenuhi kepuasan dirinya. Dia bekerja hanya untuk memenuhi keinginannya. Bahkan kalau bisa, harta di deposito bisa untuk tujuh turunan. Kalau bisa undang-undang dibeli untuk memperkuat bisnisnya. Pemangku kebijakan dibeli juga, agar dapat memperturutkan bisnisnya. Dalam kerjannya, dia merasa mampu untuk menguasai dunia. Padahal sebaliknya dia malah dikuasai dunia. Dia tidak sadar kalau diperbudak dunia belaka. Barulah dia sadar, di akhir hayatnya tidak memberikan apapun sebagai amal jariyah.
Berbeda dengan seorang penulis. Bagi seorang penulis, kebahagiaan adalah ketika dia dapat menghasilkan sebuah karya. Karyannya tersebut dapat memberikan dampak positif pada orang lain. Begitu juga bagi seorang guru, kebahagiaannya adalah ketika melihat salah seorang muridnya sukses dan jadi orang. Dengan ilmu yang diajarkannya tersebut anak didiknya dapat menghasilkan karya besar. Begitu juga bagi orang tua, kebahagiaannya adalah ketika melihat anaknya dapat hidup mandiri.
Dari sekian contoh, yang perlu disadari adalah orientasi kebahagiaan itu ternyata harus ditujukan kepada orang lain. Bukan pada diri sendiri. Kebahagian yang dioerientasikan kepada orang lain jauh lebih membahagiakan ketimbang kepada diri sendiri.
Orang-orang yang mengabdikan dirinya untuk orang lain, untuk memenuhi hajat hidupnya, maka hidupnya tidak pernah dikekang dunia. Melainkan dunia dunialah yang ada dalam genggamannya. Dia tidak lelah mengurusi dunia. Justru sebaliknya dunia tunduk kepadanya, dunia mengurusi dirinya. Ketika dia mengambil sepantasnya dari dunia, maka dunia akan melayaninya. Namanya akan dikenang di dunia ini, bukan hanya sehari dua hari setelah dia meninggal. Melainkan ribuan tahun masih di kenang oleh dunia ini.
Sementara orang yang mengambil lebih, melampaui batas wajar, dunia tidak begitu suka dengannya. Umurnya begitu singkat. Sepeninggalnya tidak ada lagi yang dikenang. Sehari dua hari, dia akan dilupakan. Oleh anak keturunan dan istri yang dipikirkan cuma harta peninggalannya saja. Begitu para pelayat, hengkang dari area pemakaman, sejak saat itu pula namanya di dunia tidak terdengar lagi.
Itulah gambaran kebahagiaan dan eksistensi manusia. Kebahagiaan yang diorientasikan kepada orang lain, lebih abadi dan nyata. Tidak mungkin, orang yang seperti itu akan menderita. Dia akan selalu bahagia. Sampai kapanpun. Walalhu’alam bisahawab.
Editor: Fauzan AS