MUHAMMADIYAH.OR.ID, MEDAN—Setiap tanggal 28 Mei dan 16 Juli di kalangan pegiat ilmu falak dikenal dengan Rashdul Kiblat, yaitu hari meluruskan arah kiblat. Di dua hari (tanggal) ini, umat Muslim kerap melakukan aneka kegiatan terkait arah kiblat, mulai dari akurasi Masjid/Mushallah/lapangan secara langsung, seminar, praktikum beberapa alat-alat astronomi, dan lain-lain.
“Rashdul Kiblat sendiri adalah momen ketika Matahari persis berada di atas Kakbah, yang mana ketika itu posisi Matahari senilai lintang Kakbah, yaitu 21º 25’. Dalam kondisi ini, setiap benda tegak lurus, bayangan yang dihasilkan adalah arah kiblat di lokasi itu. Cara dan metode ini sangat efektif digunakan untuk mengakurasi arah kiblat di berbagai tempat,” terang Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar Arwin dalam artikelnya yang dimuat di website oif.umsu.ac.id pada Kamis (27/05).
Karenanya, setiap tanggal 28 Mei pukul 16:18 WIB adalah saat yang tepat untuk penentuan sekaligus pengecekan kembali arah kiblat.
Caranya sederhana, yaitu sesuaikan arah kiblat dengan arah bayang-bayang benda: 1) pastikan benda yang menjadi patokan harus benar-benar berdiri tegak lurus, bisa gunakan bandul sebagai alat bantu; 2) pastikan permukaan dasar datar dan rata, sehingga bayang-bayang benda tidak bergelombang; dan 3) jam pengukur harus disesuaikan dengan BMKG—dapat melalui link ini: https://jam.bmkg.go.id./. Arwin menjelaskan bahwa praktik Rashdul Kiblat tercatat dalam literatur-literatur klasik yang ditulis oleh ulama dan ilmuwan Muslim, salah satunya Sayyid Usman dalam karyanya “Tahrir Aqwa al-Adillah fī Tahshil ‘Ain al-Qiblah”.
Dalam karyanya ini Sayyid Usman menampilkan ilustrasi dan visualisasi Rasdul Kiblat di Jawa-Melayu (Nusantara). Selain Sayyid Usman, ulama lain yang juga mengurai secara singkat fenomena Rashdul Kiblat adalah Nashiruddin al-Thusi dalam karyanya yang berjudul “at-Tażkirah fī ‘Ilm al-Hai’ah”.
Menurut al-Thusi, kutip Arwin, ada banyak cara dalam menentukan arah kiblat, salah satunya adalah dengan memanfaatkan momen tatkala Matahari melintasi Makkah.
“Patut dicatat, baik Sayyid Usman maupun Nashiruddin al-Thusi, keduanya sejatinya tidak memperkenalkan terminologi “Rasdul Kiblat” (Arab: rashd al-qiblah). Istilah ini tampaknya muncul belakangan, dan tampaknya hanya populer di Indonesia. Wallahu a’lam,” pungkas Arwin.