Fauzan Anwar Sandiah
Setiap muslim di seluruh dunia melaksanakan puasa pada bulan Ramadan. Ada 1.6 miliar muslim tersebar di seluruh dunia, sebagian besarnya akan berpantang makan, minum, hingga berhubungan seksual bagi suami-istri sejak matahari terbit hingga terbenam selama bulan Ramadan. Di samping mengatur jadwal konsumsi, menurut data pewresearch (2012), sekitar 77 % kaum muslim di 39 negara juga melakukan aktivitas filantropi dengan berzakat atau bersedekah.
Sementara berpuasa Ramadan adalah momen sakral untuk merefleksikan keimanan, tak banyak pemimpin kaum muslim sadar bahwa mereka ada dalam fase masalah iklim terparah. Di Indonesia, diperkirakan ada 30 juta umat muslim mulai berpuasa berdasarkan perhitungan hisab Muhammadiyah pada tanggal 2 April, dan mayoritas penduduk muslim sekitar 200 juta orang mengikuti keputusan pemerintah pada tanggal 3 April.
Bersamaan dengan itu, atau mengikuti sebelumnya, kaum muslim Indonesia menjalani puasa Ramadan dengan kelangkaan untuk beberapa komponen kebutuhan rumah tangga, bahan bakar minyak (BBM) dan gas. Dengan semakin terkonsentrasinya jalur pemenuhan kebutuhan pokok dalam jaringan rantai pasok makanan, energi dan aktivitas kaum muslim yang seragam, dampak pada satu rangkaian ini akan memicu masalah besar. Tak terelakkan lagi, dampaknya akan menjalar pada aktivitas produksi, konsumsi, dan jasa.
Persoalan kelangkaan atau naiknya harga penawaran atas suatu komoditas misalnya pada bahan kebutuhan pokok mengindikasikan satu masalah krusial: daya topang ekologi. Keterbatasan pada akses atas sumber daya alam secara inklusif sama atau serupa artinya dengan penurunan, pembatasan dan ekslusi pada daya topang alam. Jadi apa yang tampak sebagai peristiwa ekonomi as usual sebetulnya menunjukkan rangkaian kejadian yang saling berkaitan dari hulu hingga hilir.
Memang tak banyak data statistik resmi yang bisa diandalkan untuk mensimulasikan seberapa parah degradasi ekologi dan lingkungan di Indonesia. Katakanlah untuk memahami masalah fundamental seperti kualitas air. Sebagai contoh untuk laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tentang Statistik Air Bersih Indonesia 2014-2019 yang justru hanya melampirkan “kapasitas produksi air bersih”, “jumlah pekerja di perusahaan air bersih”, hingga “biaya penggunaan alat tulis dan keperluan kantor di perusahaan air bersih.” Jelas, tak ada satu pun informasi mengenai sejauhmana atau seberapa besar kandungan timbal di sungai atau air tanah. Padahal, informasi tentang kualitas air bersih dan sehat sangat vital untuk menginformasikan seberapa kuat daya topang alam untuk aktivitas pertanian, perkebunan, pemukiman, kesehatan, dan energi. Tanpa air, manusia tidak bisa hidup.
Terbatasnya data statistik resmi itu tidak berarti tak ada informasi yang bisa dijadikan rujukan terkonfirmasi. Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), lembaga riset non-pemerintah dan publikasi jurnalistik masih bisa diandalkan. Ecotonsalah satu lembaga riset non-pemerintah berbasis di Jawa Timur merilis pada September 2021 bahwa tingkat pencemaran air akibat sampah plastik di sungai-sungai di Surabaya sudah sampai pada tahap terparah. Regulasi pengendalian pencemaran, edukasi pada masyarakat dan kontrol pada perusahaan adalah akar masalah pencemaran sungai menurut Ecoton. Betebarannya mikroplastik dalam kandungan air di sungai-sungai di Surabaya mengindikasikan suatu gejala umum untuk banyak sungai di Indonesia.
Ada pula publikasi Jatam(Jaringan Advokasi Tambang) tahun 2020 tentang pencemaran sungai Palakan dan Santan di Kalimantan Timur akibat korporasi ekstraksi batu bara. Berdasarkan hasil pengujian pada tiga titik pengambilan sampel, tingkat keasaman (pH) ada pada rentang antara 2.57, 2.73 dan 2.69 yang berarti “sangat asam”; untuk kandungan besi logam berat (Fe) mencapai antara empat, tujuh hingga 16 kali lipat dari ambang baku mutu; untuk kandungan logam berat Mangan (Mn) mencapai empat hingga 20 kali lipat dari baku mutu. Baik riset Ecoton tentang kandungan mikroplastik di sungai-sungai di Jawa Timur (yang tentu saja menjalar hingga ke Jawa Tengah) dan riset Jatam di Kalimantan Timur yang dapat digeneralisasi pada banyak kasus pencemaran sungai akibat limbah pertambangan, menambal lubang informasi yang dibutuhkan untuk menakar degrarasi ekologi dan lingkungan yang lebih luas.
Keterbatasan informasi terkait kualitas lingkungan hidup dan ekologi berbasis sains, mestinya bukan masalah bagi kaum muslim dalam mengambil tindakan. Sebab, untuk melindungi alam, lingkungan dan ekologi, kitab suci al-Qur’an sudah menyatakan dengan sangat tegas. Dalam surat al-An’am ayat 165 disebutkan bahwa Allah menciptakan manusia sebagai khalifah di bumi. Kosakata khalifah bisa bermakna “penguasa” atau “penjaga”. Dalam buku Greendeen, Ibrahim Abdul-Matin menerjemahkan khalifah fi al-ardh sebagai “penjaga bumi” yang menyiratkan tugas manusia untuk melindungi alam dan lingkungan mencakup sumber air, makanan, tumbuhan, hewan dan mencari energi alternatif.
Perlu diingat bahwa manusia memang diciptakan sebagai khalifah, tapi dalam ayat yang sama juga ditegaskan ada yang diangkat derajatnya yang juga berarti ada yang diturunkan derajatnya. Jika dihubungkan dengan surat ar-Rum ayat 41 bahwa kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan manusia, maka posisi tinggi atau rendah manusia terletak pada bagaimana relasinya dengan alam. Jika manusia memuliakan alam, maka ia menjadi khalifah yang mulia atau insan kamil. Sebaliknya, derajat manusia akan sangat rendah dan hina jika ia menjadi pelaku pengrusakan alam dan lingkungan.
Relasi antara seorang muslim dan alam pun akan menunjukkan seberapa baik kualitas keimanan. Seorang muslim bisa menjadi hamba yang bertaqwa jika ia memuliakan apa yang telah Allah amanahkan. Dan jika merusak, ia akan menjadi orang-orang yang fasik, kafir dan munafik. Sebab, merusak alam sama artinya dengan menegasikan, menafikan atau merendahkan apa yang telah Allah sediakan bagi manusia. Merusak alam sama artinya dengan bersikap sombong dan arogan terhadap sesama makhluk ciptaan Allah mencakup material alam (tanah, air, bebatuan, pasir, mineral), tumbuhan, serta hewan.
Merusak alam dan lingkungan memang dapat menjerembabkan manusia hingga pada bisa jatuh dari posisi yang paling mulia ke posisi paling hina. Dalam surat al-An’am ayat 99 disebutkan bahwa Allah Swt. menurunkan air dari langit, dan dengan air itu menumbuhkan tumbuhan yang menghijau, menyiratkan bahwa gangguan pada cara kerja sunnatullah seperti itu adalah perbuatan berdosa.
Selain surat al-An’am ayat 99, ada pula surat an-Nahl ayat 65 tentang Allah menjaga kehidupan di bumi melalui air dari langit; surat al-Mu’min ayat 64 tentang bumi sebagai menetap dan sumber rezeki bagi manusia; surat al-Qasas ayat 77 tentang larangan berbuat kerusakan di bumi. Ada banyak keterangan eksplisit dalam al-Qur’an tentang peran vital alam bagi manusia, dan kewajiban manusia untuk merawat kualitas dan kesehatan alam demi kelangsungan hidup manusia sendiri.
Jelas al-Qur’an mengatakan bahwa alam berfungsi menopang kehidupan umat manusia, meski manusia pula melalui aktivitas produksi, konsumsi dan ekstrasi menyebabkan kerusakan di darat, laut dan udara. Jika keimanan adalah mempercayai apa saja pesan, peringatan dan hikmah dari Allah Swt. maka kaum muslim perlu merefleksikan dan mendayagunakan kesempatan yang ada untuk memperbaiki kondisi yang tengah berlangsung.
Mungkinkah selama masa puasa Ramadan kaum muslim misalnya mengurangi sampah plastik? Hal itu sangat mungkin dilakukan. Di Masjid Jogokaryan Yogyakarta, panitia buka puasa hanya menyajikan makanan menggunakan piring. Para panitia yang didominasi oleh perempuan menghindari menyajikan makanan dengan wadah styrofoam atau plastik mika. Konon, kurang lebih ada 2.500 porsi makanan untuk buka puasa yang disajikan menggunakan piring keramik di masjid. Tindakan semacam ini telah membuat peluang bahwa masjid mampu berbuat lebih banyak.
Masih di Yogyakarta, seorang aktivis Muhammadiyah bernama Ananto Isworo menginisiasi gerakan bernama Sedekah Sampah. Dalam beberapa tahun belakangan Ananto telah mencoba berbagai metode untuk mengampanyekan kontribusi muslim atas masalah sampah. Ia telah menempuh strategi brilian dengan menghubungkan kosakata filantropi muslim seperti “sedekah” ke dalam gerakan lingkungan. Jadi di satu sisi ia telah memberi kekuatan baru pada kosakata “sedekah” dan membuka kesadaran kaum muslim bahwa sampah juga bisa terkait langsung sebagai elemen dalam berdakwah. Terbaru, jelang Ramadan 1443 H/2020, Ananto memperkenalkan prototipe shelter sampah untuk masjid. Itu adalah tempat untuk menampung sampah yang kelak akan dijual dan hasilnya diberikan sebagai sedekah pada fakir dan miskin.
Haedar Nashir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam salah satu talkshow menjelang Ramadan mengatakan bahwa keretakan relasional antara manusia dan alam menjadi pangkal sebab masalah global. Peperangan, kemiskinan struktural, dan krisis kesehatan berakar pada pilihan paradigma hidup manusia modern yang memutus hubungan dengan alam. Muhammadiyah dalam dua puluh tahun terakhir tengah mengembangkan paradigma teologi lingkungan. Untuk menyebut dua saja misalnya, buku saku Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (2000) yang berisi kriteria merawat lingkungan sebagai perilaku Islami dan buku Teologi Lingkungan (2007) tentang pengelolaan lingkungan hidup. Di tingkat aktivisme Muhammadiyah memiliki gerakan kepanduan Hizbul Wathan, MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Center), MCCC (Muhammadiyah Covid-19 Command Center), LazisMu, dan Kader Hijau Muhammadiyah yang mendorong sektor gerakan enviromentalisme muslim.
Jelas ada banyak prakarsa Islami yang telah dirintis secara sukarela untuk menjawab masalah lingkungan di kalangan muslim Indonesia. Banyak di antaranya yang telah dirintis berkat refleksi keagamaan pada bulan Ramadan. Hal ini mengindikasikan betapa cocoknya Islam untuk membimbing orientasi kehidupan manusia supaya tidak tercerabut dari relasi sehatnya dengan alam. Bisakah modal kultural dan sosial yang telah ada di kalangan muslim Indonesia ini terumuskan dengan semakin baik untuk menjawab tantangan masa depan? Jawabannya bergantung dari apa yang dapat dilakukan sejak Ramadan tahun ini.