MUHAMMADIYAH.OR.ID, LAMONGAN—Memaknai semangat Al Ma’un secara progresif, bahwa yatim secara substantif bukan hanya yatim secara biologis atau disebabkan meninggalnya orang tua, tapi juga ada yatim secara sosiologis, ekonomi, dan akses yang menjadikan mereka menjadi kelompok marjinal, dhuafa’- mustadh’afin.
Hal itu merupakan rangkuman dari yang disampaikan oleh Ketua Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, M. Nurul Yamien saat memberikan Tausiyah Kajian Ahad Pagi di Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem, Lamongan pada (28/11) secara hybrid.
Oleh karena itu kelompok buruh petani yang kesejahteraannya masih minim, difabel yang memiliki kesulitan aksesnya, nelayan, masyarakat miskin kota, dan kelompok-kelompok terpinggirkan lainnya jika dianalisis menggunakan Al Ma’un, mereka adalah kelompok yang harus didampingi oleh Muhammadiyah, melalui Majelis Pemberdayaan Masyarakatnya.
“Kenapa begitu ?, karena Muhammadiyah lahir didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan itu spirit utamanya adalah membela kaum miskin,” tutur Yamien.
Jalur sunyi pemberdayaan masyarakat yang ditempuh oleh Muhammadiyah merupakan linier dengan semangat awal yang dimiliki oleh KH. Ahmad Dahlan. Semangat pembelaan terhadap kelompok dhuafa’ – mustadh’afin di sisi lain juga sebagai ikhtiar melakukan perintah Allah, dan usaha menghindari cap sebagai pendusta agama bagi pribadi muslim.
Sementara itu, memaknai istilah yatim dalam Surat Al Ma’un secara progresif, maka yatim di situ bukan hanya disematkan kepada anak-anak tapi juga bisa kepada orang dewasa. Yamien mencontohkan misalnya orang dewasa yang memiliki beban ekonomi, tapi tidak memiliki akses untuk mendapatkan hak ekonominya dan lain sebagainya.
“Di masyarakat kita itu masih banyak yang mengalami bukan hanya yatim secara biologis, tapi juga yatim secara sosial, yatim secara ekonomi, yatim secara politik, dan orang miskin juga bukan hanya miskin harta, tetapi juga miskin ilmu, termasuk juga akses pasar,” imbuhnya.
Oleh karena itu Yamien mengajak untuk sadar kondisi masyarakat sekeliling, untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan, terlebih di kondisi masyarakat susah. Berkaca dari Rasulullah Muhammad SAW dalam memberdayakan masyarakat miskin, rasulullah bukan hanya sekedar memberi sekonyong-konyong, melainkan dengan konsep dan model berkelanjutan.