Wakaf menjadi salah satu bukti Islam sebagai agama yang mencintai berbagi dan kemanusiaan. Wakaf adalah memberikan benda untuk keperluan atau maslahat umat. Wakaf seringkali berupa tanah maupun benda yang dapat digunakan ataupun diambil manfaatnya. Oleh karenanya penting untuk mengetahui prinsip pemanfaatan harta wakaf.
حَبْسُ مَالٍ يُمْكِنُ انْتِفاَعُهُ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ
Wakaf memiliki esensi “menahan suatu benda sehingga memungkinkan untuk diambil manfaatnya dengan masih tetap zat (materi) bencanya”(Wahbah az-Zuhaili, al-Washaya wal Walqfu fil Fiqhil Islami, Darul Fikri, Damaskus hal. 154). Dari esensi ini didapati prinsip pemanfaatan benda wakaf yakni:
- Dijaga Keberadaan, Keselamatan dan Kelestarianya
Harta wakaf telah berubah haknya menjadi hak Allah. Oleh karenanya harta wakaf tidak boleh berpindah kepemilikan, berkurang atau menghilang manfaatnya. Untuk menjaganya diperlukan kesungguhan dalam kepemilikan dan kelestarianya. Sebagaimana dalam hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma :
إِنِّي أنْزَلْتُ مِنْ مَالِ اللهِ مَنْزِلَةَ وَالِي الْيَتِيْمِ
“harta yang telah diwaqafkan tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan.” (muttafaq alaihi). Akan tetapi kepemilikanya dan pengelolanya harus jelas agar tidak menimbulkan konflik. Maka sebaiknya tanah wakaf memiliki sertifikat dan jika belum segera dibuatkan.
2. Dimanfaatkan Seoptimal Mungkin
Harta wakaf biasanya dilengkapi dengan syarat bentuk pemanfaatan sesuai dengan keinginan pewakaf (wakif) dalam akadnya, namun juga boleh tidak. Jika telah dilengkapi bentuk pemanfaatan oleh wakif maka harus dituruti. Hal ini dijelaskan dalam kaidah fiqh,
شَرْطِ الْوَاقِفِ كَنَصِّ الشَّارعِ
“syarat yang ditetapkan oleh wakif kedudukanya sa,a dengan ketetapan syara’.”
Akan tetapi pemanfaatan harta wakaf haruslah memegang prinsip yang pertama yakni dijaga keberadaan, keselamatan dan kelestarianya agar tidak berkurang kebermanfaatanya. Jika syarat yang diberikan wakif tidak sesuai kebutuhan mendesak umat dan jika dilakukan akan mengurangi nilai kebermanfaatan harta wakaf tersebut maka boleh dirubah pemanfaatanya agar lebih besar nilai kebermanfaatanya. Semisal syarat yang diberikan adlah pembangunan masjid sedang umat telah memiliki masjid yang baik maka masjid dari tanah wakaf ini akan kurang bermanfaat dan dapat dilihat sebagai pemborosan. Allah berfirman,
وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيْرًا .اِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْٓا اِخْوَانَ الشَّيٰطِيْنِ ۗوَكَانَ الشَّيْطٰنُ لِرَبِّهِ كَفُوْرًا.
Artinya: “… Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara syaitan dan syaitan sangat ingkar terhadap Tuhanya” (QS Al-Isra’ 26-27).
Perubahan pemanfaatan ini dibolehkan oleh kaidah fiqh,
الضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْضُوْرَاتِ
“keadaan darurat membolehkan yang dilarang”.
Kemudian dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan keadaan darurat termasuk menjaga kemaslahatan. Adapun pemanfaatanya nanti sesuai dengan kebutuhan umat di sana, bisa berupa fasilitas kesehatan, ekonomi, dll.
Dengan uraian diatas dapat disimpulkan untuk memanfaatkan harta wakaf harus dilakukan usaha yang cermat dan sungguh-sungguh sesuai dengan aturan syariah. Jika usaha untuk melakukanya sudah maksimal hendaknya untuk bertawakal. (sul)
Sumber: Tanya Jawab Agama Jilid 6 Halaman 102-107 Dengan Penyesuaian