Oleh: Ali Audah
Pemerhati Bahasa dan Budaya, tinggal di Yogyakarta
Dalam perjalanan pulang kami dari Toko Buku Social Agency di Jalan Kaliurang sore beberapa hari lalu, saya dan isteri menikmati pengajian on air di RRI Pro 2 FM. Covid-19 telah memaksa banyak ustaz mengisi pengajian secara daring, selain yang rutin mengisi secara on air dan luring. Ketika menikmati pengajian di perangkat radio yang menempel di dashboard mobil, kami berdua terkejut dan tertawa mendengar sang ustaz berkata seperti ini,”setan telah berusaha menggoda manusia berbuat baik.” Ini contoh ambigu, kata saya pada isteri. Dia mengangguk setuju.
Isteri saya pernah belajar Pragmatics di Prodi S2 Ilmu Linguistik Universitas Gadjah Mada. Sebagai suami yang peduli dan setia, saya telah menerjemahkan salah satu bagian penting dalam buku karangan Gerald Gazdar berjudul Pragramtics: Implicature, Presupposition and Logical Form (1979). “Pragmatik” tidak bisa dipisahkan dari “semantik”, meski ada juga ahli yang mempertentangkan keduanya. Satu kegunaan penting ilmu semantik dan pragmatik adalah mengupas persoalan ambiguitas seperti yang terjadi pada pernyataan ustaz di radio.
Sekelumit Teori Bahasa
Teori semantik ala Gottlob Frege (1891,1892) dan teori deskripsi ala Betrand Russell (1905) serta ilmu presupposisi oleh Peter Strawson (1950) cukup rumit jika harus diajarkan di bangku-bangku sekolah. Namun dalam memahami medan dakwah sebagai arena permainan bahasa, kebenaran dan logika, teori-teori tadi begitu penting. Ini adalah cara menganalisis kalimat yang jika dipadukan dengan teori Dinamika Percakapan (dynamics of discourse) oleh Robert Stalnaker (1973, 1974) dan Lewis (1979) akan membuat kecakapan berbahasa seseorang menjadi sangat tajam. Cara kerja ilmu dan teori ini beranjak dari rumusan-rumusan yang lebih luas daripada sekedar ilmu logika formal karena diterapkan dalam aktifitas berbahasa yang hidup dan dinamis.
Sebagai salah satu cabang ilmu bahasa, semantik tidak hanya berkonsentrasi pada bagaimana kata-kata mengekspresikan makna, tetapi juga pada bagaimana kata-kata, frasa dan kalimat bersatu untuk membuat makna dalam bahasa. Ilmu ini terbagi dalam tiga bidang: (1) semantik formal, yang mempelajari aspek-aspek logis dari makna, seperti indra, referensi, implikasi, dan bentuk logis; (2) semantik leksikal, yang mempelajari makna kata dan hubungan kata, dan (3) semantik konseptual, yang mempelajari struktur makna makna.
Dalam kajian Ilmu Semantik ini terdapat satu gejala bahasa yang disebut dengan ambiguitas (disebut juga dengan amphibologia, amphibolia, atau semantic ambiguity). Ambiguitas ini dapat terjadi pada satu kata (lexical ambiguity) atau pada satu kalimat (syntactic ambiguity). Ini adalah ambiguitas yang bersifat struktural atau grammatikal. Ambiguitas ini acapkali muncul dalam tulisan atau percakapan sehari-hari sebagai akibat dari pilihan kata (poor words) atau susunan kata dalam satu kalimat. Dalam ilmu semantik, untuk mencegah hal ini kita dapat terlebih dahulu mengkaji Entailment dan implikatur (perlu juga menyinggung presupposisi dan referensi).
Menganalisis Ambiguitas dalam Ceramah
Pada kasus ceramah sang ustaz mengandung ambiguitas pada tingkat kalimat (sintaks). Pernyataan “setan menggoda manusia berbuat baik” jelas dimaksudkan dalam makna bahwa setan menggoda manusia yang berbuat baik agar “terjerumus dalam perbuatan buruk.” Pengenalan yang baik dari pendengar atau pembaca terhadap karakter setan telah menolong para pendengar dan pembaca dari keterpelesetan di makna yang keliru.
Pernyataan itu secara sekilas dapat bermakna bahwa justru setan menggoda manusia agar berbuat baik, dan ini tentu saja tidak masuk akal. Sang ustaz membuat kalimat ambigu, kasus ini juga sering terjadi dalam ucapan kita sehari-hari, misalnya: “Polisi itu menangkap pencuri di dalam toko tetangganya.” Tetangga siapa, polisi atau pencuri? Apakah pencuri itu berlari dari kejaran polisi lalu masuk ke dalam toko, dan akhirnya tertangkap di sana, ataukah pencuri itu sedang mencuri di dalam toko dan tertangkap basah di sana oleh polisi?
Apa itu Implicature dan Ambiguitas?
Ambiguitas ini masuk dalam kajian tentang Implicature, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh seorang filsuf yaitu H.P. Grice (1913-88) yang mengembangkan teori prinsip kerja sama. Menurut William Empson dalam bukunya Seven Types of Ambiguity (1947), ambiguitas, dalam ucapan yang biasa ((ordinary speech) bermakna sesuatu yang sangat bersifat jelas (pronounced), namun secara struktur adalah sebuah kalimat yang cerdik dan dapat menipu (witty or deceitful).
Dalam kalimat itu sebenarnya menyisakan sejumlah pertanyaan atau teka-teki, dan biasanya pendengar atau pembaca harus mengklarifikasi langsung kepada pembuat pernyataan apa makna sebenarnya dalam kalimat tersebut. (Sekedar intermezzo, Seven Types of Ambiguity di Australia adalah sebuah serial drama televisi berdasarkan novel karya penulis Australia bernama Elliot Perlman).
Coba perhatikan, banyak perdebatan atau keributan beranjak dari kesalahpahaman menangkap implikatur yang terdapat pada kalimat-kalimat ambigu. Contoh: sewaktu berbuka puasa tadi maghrib, anak perempuan kami berseru ”tuh, kan, Mami itu kalau ngomong tidak jelas subyeknya.” Itu adalah respons anak kami atas kalimat perintah yang diberikan isteri kepada saya namun gagal saya tangkap maknanya karena tidak jelas apa yang dimaksudkan. Jadi anak kami bermaksud menunjukkan mengapa saya tidak memahami kalimat perintah tersebut.
Dalam perspektif komunikasi, kejelasan subyek dan obyek menentukan makna dari sebuah pernyataan. Bahwa kejelasan itu mungkin saja diperoleh melalui getaran atau gestur, itu tidak masalah. Akan tetapi, respons Fisa—nama anak kami—selaku juga penerima pesan hendak menunjukkan ketiadaan “subjek” dalam kalimat perintah yang disampaikan istri saya selaku komunikator.
Terdapat banyak contoh kasus pernyataan, kalimat atau susunan kata yang bersifat ambigu. Persoalannya, dalam konteks sosial yang lebih luas, problem bahasa semacam itu dapat menghadirkan masalah lain. Membuat kalimat ambigu secara sengaja atau tidak, sama-sama beresiko untuk pendengar atau pembaca. Tetapi kita sering juga melihat bahwa ambiguitas itu telah menjadi alat untuk berkelit. Jika tidak percaya, dengar cara aparat merekayasa kasus atau seorang politisi korup yang sedang berkelit.
Ngemplak, 26 April 2020
Editor: Fauzan AS