MUHAMMADIYAH.OR.ID, MALANG—Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jawa Timur Pradana Boy mengatakan bahwa di dalam sejarahnya, istilah fikih (al-fiqh) telah mengalami pergeseran atau perkembangan makna. Setidaknya ada empat fase istilah fikih ini mengalami perubahan makna dan fungsi di dalam masyarakat Islam.
Pertama, pada masa pra-Islam, istilah ini cenderung masih dipahami dalam arti harfiahnya, yaitu pemahaman atau al-fahmu. Pada masa itu, setiap pemahaman atau pengetahuan yang didapat melalui pemikiran atau perenungan diartikan sebagai fikih. Artinya, terang Pradana Boy, setiap orang yang menguasai suatu bidang ilmu tertentu seperti astronomi, pertanian, sastra, dan lain sebagainya dapat disebut faqih.
“Pada masa sebelum Islam, tentu saja dirasah Islamiyah atau studi Islam belum ada, sehingga istilah fikih masih dipahami sebagai makna umum yaitu pemahaman. Orang kalau punya ilmu ya disebut dengan faqih, tidak semata-mata merujuk pada ilmu agama,” ujar Pradana Boy dalam Santri Cendekia Forum yang diselenggarakan Pusat Tarjih Muhammadiyah Universitas Ahmad Dahlan pada Selasa (11/01).
Kedua, pada masa Islam awal, fikih dimaknai sebagai setiap pemahaman atau pengetahuan yang berkaitan dengan agama. Artinya, orang yang memiliki kemampuan untuk menarik kesimpulan dengan cara mendeduksikan atau membandingkan ayat Al-Qur’an atau hadis terhadap masalah yang akan diselesaikan dapat dikatakan sebagai orang yang menguasai fikih.
“Jadi pada fase ini, yaitu fase Islam awal, istilah fikih menyempit dari sembarang pengetahuan apapun menjadi aneka ragam pengetahuan yang berkaitan dengan agama,” terang dosen dan peneliti di Program Studi Hukum Keluarga Islam (HKI), Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang ini.
Ketiga, pada masa para imam mazhab, istilah fikih diartikan sebagai rincian peraturan mengenai perilaku dan tata kehidupan keseharian. Hingga saat ini, fikih tidak lagi diartikan sebagai aktivitas ijtihad untuk mencari jalan paling maslahat antara idealisme hukum dan realitas sosial, melainkan himpunan peraturan itu sendiri yang telah disusun para ulama mazhab.
Keempat, pada masa kontemporer, fikih diidentikan dengan pandangan dunia Islam yang di dalamnnya tidak selalu membahas persoalan hukum. Artinya, totalitas pemahaman dari sudut pandang Islam terhadap segala hal disebut dengan fikih. Dalam kasus di Muhammadiyah, fikih merupakan pemahaman terhadap ajaran Islam yang tersusun dari norma berjenjang. Dari paradigma fikih ini melahirkan Fikih Difabel, Fikih Air, Fikih Kebencanaan, dan lain sebagainya.
“Belakangan, ternyata istilah fikih sudah tidak semata-mata merujuk pada hukum, melainkan islamic perspektive on anythinga atau al-nazhariyatu al-islamiyyah fi kulli syai atau pandangan dunia Islam tentang segala hal, sehingga kita kenal ada Fikih Air, Fikih Kebencanaan, dan macam-macam,” kata asisten Staf Khusus Kepresidenan Bidang Keagamaan Internasional ini.
Hits: 132