MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Di atas tanahnya sendiri, Bangsa Palestina bukan hanya menghadapi pencaplokan tanah airnya hari demi hari, tapi juga diperlakukan layaknya narapidana.
Seorang sejarawan terkemuka dari Israel, Ilan Pappe menyebut bahwa Israel memenjarakan bangsa Palestina melalui dua cara: penjara terbuka di Tepi Barat, dan penjara tertutup dengan pengamanan maksimum di Gaza.
Dalam wawancara wartawan Middle East Eye Mustafa Abu Sneineh dengan Ilan Pappe pada 22 Desember 2017, Ilan mengungkapkan bahwa perlakuan aparat Israel kepada bangsa Palestina nampak seperti sipir penjara.
Berbagai pos penjagaan, tembok tinggi juga dibangun untuk membatasi pergerakan bangsa Palestina yang semakin tersudut. Di wilayah yang telah direbut Israel, orang-orang Palestina mendapat status sebagai ‘pengungsi’.
“Bahkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas, jika dia pindah dari Area B ke C, dia membutuhkan orang-orang Israel untuk membuka gerbang baginya. Dan itu bagi saya sangat simbolis, fakta bahwa presiden tidak bisa bergerak tanpa sipir Israel membuka kandangnya,” kata Ilan.
Ilan Pape yang merupakan profesor Jurusan Ilmu Sosial dan Kajian Internasional di Universitas Exeter, Britania Raya itu mencatat dengan detil usaha sengaja Israel sejak akhir 1960-an untuk melakukan genosida, pembersihan etnis, dan mengurung warga Palestina seperti di penjara.
Buku Ilan Pape yang paling tajam adalah yang berjudul “The Biggest Prison on Earth: A History of the Occupied Territories” (2017), dan “The Ethnic Cleansing of Palestine” (2006). Ilan juga menulis sekian buku yang sangat vokal terhadap praktek politik Apartheid Israel menindas bangsa Palestina.
Tembok-Tembok Tinggi Mengurung Gaza
Kesaksian yang sama disampaikan oleh Duta Besar RI untuk Lebanon Hadjriyanto Y Thohari. Akses untuk masuk ke Palestina dikepung dari semua sudut sehingga untuk mengirim bantuan apapun dari luar tidaklah mudah.
“Di perbatasan Suriah, dataran Golan sudah direbut Israel. Dari pintu Mesir, Rafah juga dijaga Israel. Yordania lebih lagi, aparat keamanan luar biasa hanya ada beberapa pintu imigrasi,” terangnya, Jumat (21/5).
Kesulitan ini terutama untuk warga Gaza yang dipisahkan dengan tembok setinggi 7-8 meter yang mengurung Gaza dengan panjang lebih dari 60 km. Tembok yang sama dibangun untuk memisahkan Tepi Barat sepanjang 440 km.
“Di atasnya dikasih kawat dan listrik jadi tidak masuk,” imbuh Hadjriyanto mengisahkan pengalamannya menengok tembok perbatasan itu.
“Pojok-pojok jalan ditembok dan dipasang cctv. Orang luar Jerusalem masuk ke Al-Quds sudah ga bisa. Nanti sudah masuk dalam kota, semua pintu masuk ke Al-Aqsha sudah dijaga tentara Israel. Tidak semua orang bisa masuk,” tegas Hadjri.
Sumber foto : Sabrina Cali (pinterest)
Hits: 31