MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA– Komentari pembelajaran tatap muka (PTM) di Indonesia, Wakil Ketua Muhammadiyah Covid-19 Command Center (MCCC) Pusat, dr. Aldila S. Al Arfah mengaku dilema dengan kebijakan pemberlakuan pembelajar tatap muka.
Meski angka penularan covid-19 di beberapa daerah di Indonesia mengalami penurunan, namun pembelajaran tatap muka tetaplah beresiko. Akan tetap pandemi covid-19 yang diperkirakan menjadi long pandemi, maka bangsa Indonesia harus sesegera mungkin melakukan adaptasi, sebab jika tidak akan menimbulkan dampak lain.
dr. Aldila menjelaskan bahwa, anak-anak memiliki hak untuk tumbuh dan kembang, salah satunya melalui lingkungan belajar yang memadai. Akan tetapi di sisi lain lingkungan belajar yang bisa mereka akses saat ini tidak aksesibel seperti sebelum masa pandemi. Oleh karena itu ia menyebut ini sebagai kejadian yang sangat kompleks.
“Kami dengan Dikdasmen telah berkoordinasi sejak lama menyusun protokol, protap kemudian sedapat mungkin aman,” ucapnya pada Sabtu (18/9) di acara Dialektika TvMu.
Secara lebih rinci ia menjelaskan, protap yang dilakukan bahkan dimulai sejak dalam keluarga, yakni dengan memastikan kondisi kesehatan keluarga murid. Kemudian guru dan seluruh unsur sekolah juga tidak luput dari skrining. Termasuk selama perjalanan dari rumah ke sekolah, maupun sebaliknya.
“Tapi sekolah cenderung tentu lebih mudah, artinya bisa kita atur jarak kursi dan sebagainya,” imbuhnya.
Akan tetapi, hal yang lebih sulit lain adalah menjamin peserta didik bisa patuh protokol kesehatan (prokes). Oleh karena itu aktivitas PTM memang memiliki resiko, tapi disisi lain tidak bisa terus-terusan melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Sebab, selain mengamati kesehatan fisik, juga harus memperhitungkan kesehatan psikis anak.
“Sehingga mau tidak mau kita harus segera beradaptasi. Salah satu beradaptasinya biar kita survive. Jadi kembali kita kemudian bisa sekolah, kita kembali bisa beraktifitas seperti sebelumnya, tetapi dengan protokol-protokol yang lebih ketat,” ungkapnya.