Oleh: Abdul Gafur
Aktivis IMM Sulawesi Selatan
Hari – hari ini publik kian dipertontonkan dengan permainan elit politik sekaitan dengan posisi lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).Sejak didirikan 2002 silam, kehadiran KPK merupakan bagian dari agenda reformasi dalam hal pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sebagai perilaku yang menjangkiti kekuasaan orde baru, yang menjadi satu sebab rezim tersebut ditumbangkan.Kejadian beberapa waktu terakhir sebenarnya bukan sesuatu yang baru, upaya untuk melemahkan KPK bahkan upaya pembubaran telah terjadi sejak awal berdirinya.
Pelaku korupsi terganggu dengan kehadiran KPK yang cukup garang dalam menangani kasus-kasus korupsi yang banyak melibatkan pejabat publik dan elit-elit politik. Koruptor berhasil bercokol dengan peluang agenda reformasi dan demokrasi.
Perilaku korup kian menggurita, bahkan hampir terjadi di banyak aspek kehidupan berbangsa. Sedangkan seharusnya, secara konsepsi demokrasi mampu menutup ruang dan tindakan koruptif. Dalam situasi demikian, tentu ada yang kurang tepat dalam proses konsolidasi demokrasi yang kita rajut. Sejak tumbangnya rezim otoriter orde baru, demokrasi kita cenderung stagnan. Misalnya dalam perkembangan ide tentang negara yang demokratis menurut Jimly Asshidique saja, publik harus mampu membedakan tiga konsep penting dalam kehidupan berbangsa, yaitu negara (state), pasar (market), dan masyarakat sipil (civil society). Dan kita, harus terlibat secara intensif di dalamnya.
Kondisi Demokrasi
Keberlangsungan demokratisasi merupakan kerja sistemik yang saling mensyarati dari ketiga komponen demokrasi tersebut. Hargens menyebutkan bahwa demokrasi sulit bekerja dalam kondisi ketidakseimbangan relasional antar ketiga komponen itu. Artinya secara konseptual, hal ini memberikan perspektif baru tentang peran negara, pasar dan masyarakat sipil. Yaitu bersinergi dalam relasi yang sejajar dalam tata kelola pemerintahan.
Sekalipun kita menyadari, dalam sejarah demokrasi, tidak ada demokrasi yang sepenuhnya ideal, demokrasi tentu bukanlah sistem yang paripurna, namun demokrasilah yang memungkinkan untuk memperoleh keadilan dan kesejateraan yang sejajar.
Pada sisi yang lain sebenarnya ada pertumbuhan dan penguatan masyarakat sipil. Dalam perkembangan dunia kontemporer, hadirnya teknologi internet mampu menjebol batas antara ruang privat dan ruang publik. Partisipasi politik menjadi semakin terbuka dan menguat.
Tetapi pertanyaannya kemudian, apakah hal itu cukup mengimbangi kekuatan oligarki yang telah terkonsolidasi lebih kuat dalam ruang politik dan ekonomi? Bagaimana dengan represi yang dilakukan berdalih UU ITE yang kemudian banyak memidana orang-orang kritis.
Fakta yang hadir dalam praktik bernegara kita adalah ketimpangan, ketimpangan kuasa dari komponen demokrasi yang harusnya berjalan sejajar. Kita semua tahu bahwa KPK merupakan produk reformasi, sebagai salah-satu lembaga negara yang didesain independen, yang diamanatkan reformasi untuk bergarak dalam agenda pemberantasan korupsi yang telah mengakar dalam 32 tahun kekuasaan orde baru. Keberhasilan mengakhiri rezim otoriter yang korup di tahun 1998 adalah buah dari kemampuan kelompok masyarakat sipil untuk mengkonsolidasi diri dan melawan tirani kekuasaan. Dari konsolidasi itulah melahirkan era reformasi yang mewujud dalam agenda bernegara yang lebih demokratis, termasuk lahirnya lembaga – lembaga independen yang memperjuangkan hak – hak sipil guna menciptakan keadilan dan kesejahteraan, KPK termasuk di dalamnya.
Masyarakat Sipil
Sejatinya elemen masyarakat sipil mewalikan perjuangannya di era reformasi melalui lembaga-lembaga tersebut, kemudian masyarakat kembali pada fokusnya masing-masing. Kelengahan inilah yang akhirnya menghentak kita, sisa-sisa orde baru berhasil membajak agenda reformasi dan mengkonsolidasi diri dengan baik untuk menghancurkan apa saja yang menghalangi mereka. Kekuatan oligarki politik dan oligarki ekonomi menyatu melibas lembaga-lembaga perwujudan perjuangan civil society, dan KPK adalah musuh yang paling mengganggu kepentingan mereka.
Pada akhirnya kita tidak hanya melakukan kritik terhadap menguatnya kekuasaan negara oligarki politik dan oligarki ekonomi. Kita harus melakukan refleksi mengapa kelompok masyarakat sipil melemah, mengapa konsolidasi kita tidak berjalan baik, pelemahan KPK yang begitu massif, dan seolah terlihat tanpa perlawanan.
Ini menjadi isyarat sekaligus alarm posisi masyarakat sipil memudar, melemah dan kehilangan posisi tawar dalam dimensi demokrasi, di mana masyarakat sipil menjadi pilar penting dalam membangun demokrasi yang sehat. Kejadian terhadap KPK yang kekuatannya dilucuti perlahan harusnya menjadi momentum bagi koalisi masyarakat sipil untuk mengkonsolidasi diri, menyatukan kembali pandangan dan perjuangan. Jika selama ini masing-masing masih terfokus pada bidangnya, maka situasi hari ini harus kita fokuskan pada titik yang sama, turut merawat dan mamastikan keberlangsungan demokrasi kita sebagai jalan menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Tantangan kita tidak hanya bagaimana mengahadapi kekuatan oligarki yang bertumpul pada negara, tetapi dalam tubuh masyarakat sipil sendiri penggembosan itu terjadi, banyaknya elit masyarakat sipil yang dibajak atau bisa jadi mencari suaka pada kekuasaan menyebabkan gerakan kita melemah. Fakta di lapangan sering kali kita berhadapan dengan sesama elemen masyarakat sipil, yang sebagian elit masyarakat sipil tersebut menjadi komparador dari kepentingan oligarki, mengingkari nilai dan prinsip yang diperjuangkannya sebelum-sebelumnya.
Komponen Demokrasi
Dalam laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia mencatat skor terendah dalam 14 tahun terakhir. Indonesia menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3., menurun dari yang sebelumnya 6.48. Bahkan Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan demokrasi cacat.
Prof. Edward Aspinall dari Australia National University (ANU) mengungkapkan penyebab regresi atau kemunduran demokrasi di dunia termasuk Indonesia. Regresi demokrasi terjadi karena empat sebab yaitu korupsi yang tinggi, turunnya dukungan pada demokrasi, perubahan ekonomi dan sosial, lalu pola konsumsi media yang tinggi.
Catatan-catatan tersebut manjadi ukuran bagi kita bahwa komponen yang menjadi ukuran demokrasi sebuah negara seperti penegakan hukum yang berkeadilan, penerapan hak-hak sipil seperti kebebasan berpendapat dan berserikat, termasuk pemberantasan korupsi mengalami kemunduran, dan salah satu pemicunya adalah banyak oknum masyarakat sipil bersenggama dengan kekuasaan.
Sudah waktunya sisa-sisa kekuatan dari masyarakat sipil yang berserakan kita satukan, kelompok mahasiwa, organisasi kemasyarakatan – NGO, akademisi, buruh tani dan semua yang mendamba keadilan untuk bersatu padu membangun kehidupan berbangsa yang demokratis dan berkeadilan, dengan tetap memperkuat posisi KPK dalam mencegah dan memberantas tindakan koruptif yang merusak negara ini.
Editor: Fauzan AS
Hits: 5