MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha merupakan cikal bakal dari gerakan salaf. Demikian ungkapan Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) Akhmad Sahal. Menurutnya, hal ini perlu disampaikan karena belakangan ini ketika berbicara Salafisme, yang terbayang adalah gerakan puritan, literalis, dan berhimpitan dengan wahabisme.
“Kecenderungan Salafisme sekarang selalu dikaitkan dengan revivalisme,” tuturnya dalam acara bedah buku Muhammadiyah dan Salafisme karya Hilali Basya pada Jumat (18/12).
Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada ini menyatakan bahwa sekiranya dilacak dalam diskursus keislaman modern, Salafisme sejatinya memiliki spirit berkemajuan. Salafisme yang dikomandoi Abduh disebut sebagai respon intelektual atas kolonialisme Eropa dan keterbelakangan dunia Islam di abad modern. Jalan yang ditempuh Abduh adalah mengambil substansi modernitas tetapi berdasarkan sumber Islam yang termuat dalam al-Quran dan al-Hadis.
“Sesungguhnya Abduh itu revivalis karena dia ingin mengembalikan sebuah spirit yang hilang dari umat, karena terkontaminasi dengan beragam budaya dan beku,” kata Sahal.
Sahal mengungkapkan arah juang Salafisme pada abad ke-21 bergeser dari semangat Abduh. Dari yang awalnya berusaha mengejar ketertinggalan dari peradaban Barat, berubah menjadi gerakan yang serba literalis dan puritan.
“Salafisme Abduh berusaha kembali ke belakang untuk melompat jauh ke depan, sementara salafisme sekarang ingin ke belakang dan berhenti di sana. Meski keduanya anti-taklid, tetapi yang muncul belakangan ini menjadi sangat taklid karena betul-betul tidak dapat diajak diskusi,” ungkapnya.
Yang menarik dari buku ini, kata Sahal, argumen-argumen Fikih Muhammadiyah yang dipakai semisal penggunaan istislah (kemaslahatan) dalam fatwa merupakan ciri Salafisme generasi Abduh. Sehingga tidak heran bila selama ini Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan keagamaan yang dipengaruhi Abduh.
Buku yang Menarik
Sementara itu, Neng Hannah mengakui bahwa buku karya Hilali Basya menggunakan bahasa-bahasa yang mudah dipahami sehingga dapat dinikmati kalangan yang jauh lebih luas. Meski demikian, kata Hannah, tidak jatuh pada ambisi estetis sehingga kehilangan bobot ilmiahnya. “Pertama kali baca kemudian sampai akhir buat penasaran. Gaya penulisan ini mudah dipahami,” puji Dosen UIN Sunan Gunung Djati ini.
Selain itu, Hannah juga mengakui bahwa buku ini memberikan gambaran utuh Salafisme dan variannya. Kelebihan lain yang terdapat dalam buku ini adalah muatan referensi yang padat dan detail sehingga dapat diteruskan penelitian lebih lanjut.
Hannah juga menjelaskan bahwa buku Salafisme dan Muhammadiyah sangat relevan dengan perkembangan keislaman saat ini. Ia mengungkapn tiga alasan kenapa buku ini penting.
“Buku ini penting tigal hal: kekerasan atas nama agama cenderung meningkat; pemahaman tentang Salafisme yang tumpang tindih; dan perempuan ditempatkan sebagai sasaran dalam Perda Syariah,” terang Hannah. (Ilham)