MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Fikih Difabel merupakan respon terhadap persoalan sosial-keagamaan yang dalam pelaksanaannya tidak selalu dilihat dari segi hukum taklifi (halal-haram). Istilah ‘fikih’ dalam Muhammadiyah dikembalikan ke makna aslinya, yaitu totalitas pemahaman terhadap ajaran Islam yang tersusun dari norma berjenjang.
Dalam pengajian yang diselenggarakan Masjid KH. Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Aly Aulia menjelaskan terdapat tiga nilai-nilai dasar dalam Fikih Difabel, yaitu: Tauhid, keadilan, dan kemaslahatan. Nilai-nilai dasar ini diambil dari nilai universalitas Islam yang diserap langsung dari semangat al-Quran dan as-sunnah.
“Nilai-nilai tauhid membawa pada keyakinan bahwa segala yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan Allah. Peran Allah untuk makhluk-Nya tidak hanya mencipta, melainkan juga mengatur segala detail ciptaan-Nya mulai dari bentuk fisik sampai nasib,” utur Direktur Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta ini.
Aly menerangkan bahwa prinsip tauhid mengakui adanya pluralitas fisik, sehingga mendorong kesetaraan manusia di hadapan manusia lainnya. Baik difabel maupun bukan, keduanya dipandang setara sebagai makhluk ciptaan Allah. Prinsip ini membawa implikasi bahwa seseorang harus berlaku adil kepada siapapun sebagaimana yang tertulis di dalam QS. al-Nahl ayat 90.
“Nilai keadilan meniscayakan bahwa semua manusia di hadapan Allah hakikatnya sama. Dalam konteks inilah berarti setiap orang harus menerima bahwa keterbatasan fisik sebagai keragaman manusia secara umum dan samasekali bukan hukuman Allah Swt. Sebab yang membedakan manusia di hadapan Allah bukan kesempurnaan fisik melainkan spiritual,” terang dosen UMY ini.
Aly menegaskan bahwa nilai dasar keadilan memberikan sinyal positif bahwa kondisi difabel tidak serta-merta terhapus statusnya sebagai subjek hukum (mukallaf) hanya karena keterbatasan fisik, sensorik, mental, maupun intelektual sebagaimana yang tersirat di dalam QS. Al-Nur ayat 61. Kondisi difabel tetap harus menjalankan kewajiban dan menghindari larangan dari Allah Swt.
Sementara itu, kata Aly, dalam konteks fikih difabel, nilai kemaslahatan yang berada di tingkatan dlaruriyyah (primer) bermakna menjaga hak-hak difabel, memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, dan memberikannya kesempatan untuk berkontribusi nyata dalam segala bidang. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayar 143.
“Jika mereka dapat diberi kesempatan hadir di depan publik, bukan tidak mungkin kondisi difabel dapat menciptakan kemaslahatan,” tegas Aly.
Hits: 36