MUHAMMADIYAH.OR.ID, NEW DELHI — Perempuan muslim di Indonesia patut bersyukur, sebab peran yang bisa mereka ambil bukan hanya domestik. Resiliensi atau kelentingan perempuan ini dikawal secara konsisten oleh organisasi perempuan seperti ‘Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah.
Tidak cukup sampai di situ, di masa pandemi Nasyiatul Aisyiyah juga aktif bergerak membantu siapa saja yang membutuhkan. Bahkan, Nasyiatul Aisyiyah juga hadir di kala terjadi bencana alam seperti Gunung Lewotolok meletus, di Lembata.
Kurang lebih demikian yang disampaikan oleh Ketua Bidang Organisasi PP Nasyiatul Aisyiyah, Nurlia Dian Paramita dalam diskusi bertema Resiliensi Perempuan Lintas Agama Selama Pandemi Covid-19 yang digelar PP Nasyiatul Aisyiyah pada (31/7).
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan kondisi perempuan dari kawasan Asia Selatan yang dipaksa hanya boleh melakukan peran domestik, bahkan diskriminasi terhadap perempuan di sana terjadi sejak embrio.
Akibat budaya patriarki yang begitu kuat di negara-negara kawasan Asia Selatan, bayi perempuan yang baru lahir dianggap sebagai beban. Hal itu diungkapkan oleh Mohd Agus Aufiya, Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCIM) India.
Agus menjelaskan, keluarga yang melahirkan anak perempuan di India itu dianggap ‘sial’, namun ketika punya anak laki-laki mereka gembira luar biasa.
Demi menjaga bayi yang dikandungan tetap sehat dan calon bayi perempuan tidak digugurkan, Pemerintah India membuat kebijakan bahwa, selama masa kehamilan tidak diperbolehkan untuk melakukan Ultrasonografi (USG) untuk mengetahui jenis kelamin janin.
“Agar para keluarga yang misalnya mendapati bayi di dalam kandungan itu perempuan agar tidak dilakukan aborsi ataupun pembunuhan pada saat di masa janin,” ungkapnya
Agus menyebut, di negara kawasan Asia Selatan, termasuk India, diskriminasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak embrio. Tidak cukup sampai di situ, bagi perempuan yang ingin menikah, bukan mereka yang menerima mas kawin (dowry), tapi perempuan yang malah memberikan dowry.
“Padahal Pemerintah India sejak tahun 1961 sudah menyatakan tindakan atau sistem dowry ini ilegal,” imbuhnya