MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Zaman keemasan Islam bukanlah titik nol peradaban umat manusia. Ada berbagai bangsa masa lampau yang berhasil meraih peradaban gemilang seperti Yunani, Persia, Romawi bahkan Tiongkok dan India. Artinya, Islam mendirikan peradaban dari bangunan yang akarnya berasal dari peradaban sebelumnya sembari menciptakan beragam inovasi.
Kegemilangan peradaban Islam pada abad tengah mulai mengalami kemunduran setelah terjadi krisis ekonomi di Iran pada abad ke-11 yang membuat para saintis bermigrasi, disusul naiknya kuasa pemimpin agama, kemudian meletusnya Perang Salib, dan naiknya popularitas sufisme. Hal ini membuat produksi buku yang membahas sains sejak abad ke-12 mengalami turun terjun payung.
Pandangan di atas disampaikan Rektor Universitas Islam Indonesia Fathul Wahid dalam Pengajian Ramadan PP ‘Aisyiyah pada Kamis (21/04). Dirinya mengajak agar umat Islam kembali memproduksi buku-buku serius yang tidak hanya membahas agama tapi juga sains. Ia mengimajinasikan agama dan sains seperti dua kepak sayap yang akan menerbangkan umat Islam pada puncak peradaban.
Sayangnya, kemajuan ilmiah di bidang akademis di negara-negara Muslim sering terhambat oleh isolasi yang menutup diri dari dunia luar dan sistem universitas yang relatif belum matang. Gaji sangat rendah di beberapa negara sehingga orang harus mencari penghasilan tambahan. Sistem birokrasi yang berlebihan juga seringkali menghambat inovasi.
Mengutip Ziauddin Sardar, Wahid menyebut ada tiga sebab umat Islam mengalami kemunduran, yakni ketidakmampuan umat Islam mengapresiasi kekuatannya sendiri, ketidakmampuan memahami realitas kontemporer, dan ketidakmampuan menyesuaikan diri dengan perubahan yang cepat. Umat Islam hanya beraksi terhadap perkembangan yang ada. Selain itu, umat Islam juga dinilai belum bisa membuka diri dengan entitas yang berbeda.
“Padahal, pengembangan ilmu pengetahuan harus menghilangkan sekat-sekat yang berseberangan dengan upaya pengembangan itu sendiri. Kita harus belajar dari pertemuan intelektual Arab dan Yunani adalah salah satu peristiwa terbesar dalam sejarah,” tegas Wahid.
Dalam kesempatan tersebut, Wahid juga menyampaikan bahwa ada prospek positif relasi laki-laki dan perempuan di Indonesia dalam konteks pendidikan. Secara khusus, di Indonesia, jumlah perempuan yang menempuh dan menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi terus meningkat. Pun demikian, secara kuantitas, perbedaan jumlah dosen antara laki-laki dan perempuan hanya berbeda tipis. Jika dipersentase, ada 55% laki-laki yang menjadi dosen, dan 45% sisanya adalah perempuan.
Namun masih ada stereotip dan bias gender, misalnya, laki-laki lebih baik daripada perempuan di bidang STEM (science, technology, engineering and math) atau perempuan tidak tertarik berkarier di bidang sains. Hal ini mungkin disebabkan dari tiadanya saintis/insinyur perempuan sebagai teladan (role model), kurikulum sains tidak relevan untuk banyak perempuan, pedagogi kelas sains lebih mengutamakan laki-laki, dan ketidakcukupan pembimbing/konselor yang mengarahkan perempuan ke sains.
Dalam menyelesaikan masalah ini, Wahid menawarkan solusi agar 1) memastikan akses yang sama antara perempuan dan laki-laki ke sumber daya sains; 2) membuat contoh dan penugasan yang menekankan cara sains dapat meningkatkan kualitas kehidupan; 3) menggunakan kelompok kerja di kelas yang lintas gender; 4) menghilangkan bahasa dan gambar dalam buku teks yang hanya menonjolkan laki-laki; 5) meningkatkan kedalaman dan mengurangi keluasan pelajaran/mata kuliah dasar; dan 6) secara terbuka mengakui adanya aspek politik dalam penelitian saintifik.
Hits: 17