MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Muhammadiyah melalui Musyawarah Nasional Tarjih ke-30 telah menyusun suatu pedoman yang disebut Fikih Difabel. Penggunaan istilah ‘fikih’ tidak berarti pedoman yang hanya berisi tentang halal-haram atau boleh-tidak boleh, melainkan totalitas pemahaman terhadap ajaran Islam yang tersusun dari norma berjenjang.
Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ali Yusuf, norma berjenjang dijadikan sebagai basis dalam membangun paradigma fikih Muhammadiyah. Jenjang norma tersebut meliputi nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah), prinsip-prinsip umum (al-ushul al-kulliyyah), dan ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah).
Terdapat tiga nilai dasar dalam Fikih Difabel, yaitu: tauhid, keadilan, dan kemaslahatan. Nilai dasar tauhid menjelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dengan bentuk yang sempurna (QS. al-Tin: 4). Peran Allah juga mengatur segala detail ciptaan-Nya mulai dari bentuk fisik sampai nasib (QS. al-Insan: 30). Dengan kata lain, kesatuan penciptaan seharusnya mengimplikasikan bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama.
“Tidak ada satupun ciptaan Allah yang buruk. Ketika ada yang bilang bahwa orang cacat itu karena kutukan, banyak dosa, dan lain sebagainya, inilah contoh orang yang tidak bertauhid. Kalau ada orang yang ditakdirkan tidak bisa melihat dan lain sebagainya, bukan berarti kegagalan Allah dalam proses penciptaan,” kata Ali dalam Pengajian Umum PP Muhammadiyah pada Jumat (10/12).
Nilai dasar keadilan menjelaskan bahwa semua manusia di hadapan Allah pada hakikatnya sama. Dalam Islam, kesempurnaan fisik bukanlah menjadi hal yang prioritas dalam hal pengabdian diri kepada Allah (QS. Al Hujurat: 13). Dengan demikian, nilai dasar keadilan memberikan sinyal positif bahwa kondisi difabel tidak serta-merta terhapus statusnya sebagai subjek hukum (mukallaf).
“Menerima difabel sebagai keragaman manusia secara umum sebab yang membedakan manusia bukan fisik dan intelektual semata melainkan keunggulan spiritual atau ketakwaan kepadan Allah. Ini prinsip kesetaraan al musawa atau equality,” tutur dosen Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah ini.
Sementara itu, nilai kemaslahatan berarti menjaga hak-hak difabel yang bersifat dharuri atau primer seperti memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, dan memberikannya kesempatan untuk berkontribusi nyata dalam segala bidang. Dengan demikian, penyandang difabel dapat berpartisipasi secara nyata dalam mewujudkan kemaslahatan sesuai dengan kemampuannya.