MUHAMMADIYAH.OR.ID, MAKASSAR—Rumusan tajdid yang resmi dari Muhammadiyah memiliki dua makna, yakni: purifikasi dan dinamisasi. Syamsul Anwar menjelaskan bahwa purifikasi dalam ruang lingkup akidah dan ibadah, sementara dinamisasi dalam hubungannya dengan persoalan muamalah dan duniawiyah.
Persoalan ibadah, apalagi ibadah mahdlah seharusnya memang didasarkan pada dalil. Dalam kaidah usul fikih disebutkan bahwa hukum asal dari ibadah adalah haram, kecuali ada dalil yang melandasinya di dalam al-Quran dan al-Hadis. Karenanya menurut Syamsul harus persoalan ibadah ini harus dilaksanakan dengan memperhatikan tata cara sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Tuntunan ibadah yang sudah mengakar di masyarakat kemudian dikoreksi Muhammadiyah adalah persoalan qunut salat subuh. Menurut Syamsul, hadis-hadis tentang qunut salat subuh hingga Nabi Saw meninggal tidak dibenarkan karena dalilnya dlaif. Bukan hanya dlaif, hadis-hadis tersebut bertentangan dengan hadis sahih yang menyatakan bahwa Nabi Saw pernah qunut selama satu bulan setelah itu ditinggalkan dan tidak pernah lagi qunut.
“Dalam hadis-hadis sahih juga disebutkan bahwa qunut yang dilakukan Nabi itu adalah qunut nazilah atau qunut yang dilakukan ketika tertimpa musibah,” terang Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam acara Sosialisasi dan Kunjungan Majelis Tarjih pada Jumat (07/05).
Langkah tajdid sebagai bagian dari purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dalam masalah-masalah ibadah juga dilakukan ihwal jumlah rakaat salat tarawih atau qiyam ramadan. Menurut Syamsul, kualitas hadis yang menerangkan 20 rakaat salat tarawih ditambah 3 rakaat salat witir mengutip hadis dari Ibnu Abbas yang diriwayatkan al Baihaqi dan Ibnu Abi Syaibah. Akan tetapi mayoritas ulama hadis tanpa perbedaan pendapat menilai hadis tersebut statusnya dhaif alias lemah. Bahkan beberapa ulama menempatkannya sebagai hadis mungkar.
Syamsul menyatakan bahwa bila ada yang sahih kenapa harus mengamalkan hadis yang lemah. Hadis yang sahih terkait salat tarawih atau qiyam ramadan adalah hadis dari Aisyah adhiyallahu ‘anha yang diriwayatkan dua guru besar hadis yaitu Bukhari dan Muslim. Dalam hadis tersebut seorang sahabat bernama Abu Salamah Ibn Abd ar-Rahman bertanya kepada Aisyah tentang salat Rasulullah di bulan Ramadan.
Lalu Aisyah menjawab: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukan salat sunnat (tathawwu‘) di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau salat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya, kemudian beliau salat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau salat lagi tiga rakaat.”
“Itulah contoh tajdid dalam ibadah, yaitu purifikasi,” kata Syamsul.