MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Muhammadiyah bukan akan, tapi sudah berbuat dalam menanamkan nilai-nilai religiusitas yang mencerahkan. Bahkan lebih dari itu, Muhammadiyah juga membangun pranata sosial baru yang bermanfaat untuk umat dan bangsa dari amal salehnya, yang dilembagakan menjadi Amal Usaha Muhammadiyah (AUM).
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir pada, Selasa (5/4) di acara Pengajian Ramadan 1443 H Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang diselenggarakan secara hybrid di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta.
Amal dan usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah merupakan persenyawaan dua entitas yang berbeda, di mana amal sebagai suatu yang sakral sedangkan usaha bisa dimaknai sebagai suatu yang profan. Menurut Haedar satu dari dua entitas tersebut tidak bisa dikesampingkan.
“Di satu pihak ada hukum praktis keduniaan, karena itu memang realitas. Tapi di pihak lain kita tetap punya nilai-nilai pondasi (keagamaan) yang kokoh. Karena itu amal usaha berbeda dengan korporasi yang bersifat bisnis murni,” tuturnya.
Dalam menanamkan nilai-nilai religiusitas yang mencerahkan, Muhammadiyah juga didukung oleh sumber daya manusia potensial dan profesional. Haedar menyebut, sumber daya manusia di Muhammadiyah memiliki kualitas baik dari segi keagamaan maupun intelektualitas lain dan peran sosial.
Sumber daya tersebut muncul melalui proses tempaan kaderisasi yang panjang dan luar biasa. Oleh karena itu, ia berpesan supaya sumber daya manusia potensial dan profesional di Muhammadiyah untuk dilipatgandakan dan kapitalisasi sehingga jumlah semakin banyak. Haedar menegaskan, segi kuantitas perlu dalam konteks piramida masyarakat Indonesia.
“Keniscayaan dari afiliasi sosial kita untuk menjadikan mereka menjadi bagian dari Muhammadiyah, atau setidak-tidaknya memiliki relasi kultural dengan Muhammadiyah. Dan ini memerlukan pendekatan baik dalam dakwah maupun pendekatan-pendekatan sosial di mana Muhammadiyah hadir, dan bisa diterima oleh mereka,” ungkap Haedar.
Tidak berlebih, Haedar menyebut keberhasilan dakwah Muhammadiyah generasi awal. Mereka berhasil menjungkir balikkan keadaan, disaat yang masih jatuh bangun, Muhammadiyah di tahun 1920-an sudah berhasil menjangkau hampir seluruh penjuru Indonesia. Dari sejarah itu, ditemukan kata kunci keberhasilan penyebaran Muhammadiyah yaitu fleksibel, moderat dan luwes.
“Muhammadiyah ini selalu terkoneksi dengan peran keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal, aktualisasi dari Islam itu sendiri. Muhammadiyah ini tidak menjadi mercusuar, menara gading yang hidup untuk dirinya,” imbuhnya.