MUHAMMADIYAH.OR.ID, ARIZONA— Di kalangan warga Muhammadiyah, ada suatu kebanggaan tersendiri ketika persyarikatan ini disemati dengan gelar modernis. Istilah “modernis” ini kemudian diglorifikasi sedemikian rupa hingga sampai pada suatu level hilangnya pandangan kritis terhadap konsep ini. Perlunya meninjau secara kritis istilah “modernis” ini, memotivasi PCIM Amerika untuk menyelenggarakan bedah buku karya Wael B. Hallaq yang berjudul Reforming Modernity.
Muhamad Rofiq Muzakkir selaku pembicara mengatakan bahwa buku karya Reforming Modernity ini mencoba melihat konsep “modernity” secara kritis dari kacamata Wael B. Hallaq dan Abdurahman Taha. Wael B. Hallaq merupakan seorang sarjana hukum Islam, sejarah intelektual Islam, dan Profesor dalam bidang Humaniora di Universitas Columbia. Sementara Abdurahman Taha adalah seorang filosof Maroko yang banyak menulis buku tentang kritik terhadap modernitas salah satunya buku Ruh al-Hadatsah.
“Menurut Hallaq, satu kata untuk menggambarkan Prof Taha adalah beliau ini adalah filsuf etika dan akhlak. Jadi karya-karyanya fokus pada akhlak ditinjau dari sudut pandang filosofis. Ini bacaan yang penting sekali sebab apa yang hilang dari pendidikan kita hari ini adalah silabus mengenai akhlak. Inilah krisis utama dari zaman modern,” tutur Rofiq dalam acara bedah buku yang diselenggarakan PCIM Amerika pada Sabtu (21/08).
Rofiq menerangkan bahwa buku Reforming Modernity ini diterbitkan diterbitkan Columbia University Press pada tahun 2019. Isinya meliputi: Bab I “Rethinking the Islamic Tradition”: A Conceptual Framework; Bab II The Spirit of Modernity; Bab III Islamic Applications of Modernity’s Spirit; Bab IV Recasting Reason; Bab V Religion, Secularism, Ethics: A Concept of Critique; Bab VI Sovereignty, Ethical Management, and Trusteeship; dan Epilogue: A New Concept of the Human.
Dalam pendahuluannya tentang buku ini, Hallaq mengawali pembahasannya menerangkan tentang keterputusan epistemologi (epistemic rupture) tradisi diskursif di dunia Islam saat memasuki modernitas. Kemudian menerangkan tentang pentingnya turats sebagai jembatan epistemik untuk menghubungkan antara diskursif masa lalu dan masa depan, dan kritik terhadap progress atau berkemajuan yang bias filsafat Barat.
“Pada bagian kritik tentang progres atau teori kemajuan dalam buku ini ada resonansinya dengan Muhammadiyah. Kemajuan sejatinya bukan istila trivial di dalamnya ada nilai filosofisnya. Saya pernah menulis, ketika Muhammadiyah menyebut berkemajuan, apakah konten filosofisnya sama dengan konten kemajuan dalam filsafat Barat?” tanya Rofiq.
Rofiq kemudian menyarankan jika Muhammadiyah ingin menyebut dirinya berkemajuan maka harus memiliki orientasi spiritual. Jadi kemajuan tidak diukur dari hal-hal yang sifatnya material sebagaimana konsep progres dalam filsafat Barat, melainkan kemajuan yang mencakup nilai-nilai spiritual atau apa yang disebut dalam tradisi tasawuf sebagai al-shu’ud al-ruhi.
“Bagi sufi, setiap muslim bukan hanya perlu menyadari di kondisi spiritual mana ia berada, tetapi juga harus berkomitmen agar setiap harinya ia selalu mengalami peningkatan atau kemajuan ruhaniyah,” tutur kandidat doktoral Islamic Studies di Universitas Arizona ini.