MUHAMMADIYAH.OR.ID, SIDRAP– Dari luasan lahan 10 hektar (ha), petani padi ketika panen hanya mendapatkan 10 ton. Jika dirata-ratakan, maka setiap 1 ha lahan sawah hanya mendapatkan 1 ton. Hal ini merugikan petani, sebab untuk menutupi ongkos perawatan saja tidak cukup.
Demikian disampaikan oleh Syafii Latuconsina, Konsultan Ahli Pertanian Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PP Muhammadiyah kepada reporter muhammadiyah.or.id pada Selasa (21/9). Kenyataan tersebut didapatkan ketika mendampingi petani yang menggarap lahan wakaf milik Muhammadiyah di Kabupaten Sidenreng Rappang (Sidrap), Sulawesi Selatan.
Syafi’i melanjutkan, keadaan tersebut merugikan petani penggarap. Selain tidak ikut memiliki lahan, ongkos perawatan seperti untuk membeli pupuk, tenaga perawatan, dan ongkos panen yang mereka keluarkan besar, tapi hasil panen mereka tidak bisa menutupi ongkos tersebut.
“Jadi keprihatinan kita tidak hanya terhadap tanah wakaf yang digarap, tapi terhadap penggarapnya. Mereka ini kan orang-orang miskin yang tidak punya sawah, kerjaannya hanya jadi buruh tani,” ungkapnya.
Melalui program pemberdayaan masyarakat, Syafi’i mendampingi masyarakat dengan semangat ‘Selama Rakyat Masih Menderita Tidak ada Kata Istirahat”. Selain mendampingi petani padi, dirinya juga mengajarkan cara menanam jagung, beternak ikan yang baik dan terukur, serta menggunakan pendekatan-pendekatan sains dan teknologi.
Setelah mendapat pendampingan selama lebih dari 4 bulan, hasil dari cocok tanam petani padi membuahkan hasil yang menggembirakan. Panen pertama yang mereka lakukan diperkirakan hasilnya naik sampai 200 persen. Keberhasilan tersebut juga disambut baik oleh Bupati Sidrap, Dollah Mando.
“Kebetulan sekali dipanen seluruh Kabupaten Sidrap itu terjadi serangan hama dan penyakit, sehingga terjadi penurunan produksi dan gagal panen itu lebih dari 60 persen,” ucapnya.
“Kalau yang kita berdayakan sama sekali tidak berdampak, itu yang bikin orang kaget,” imbuhnya.
Menurutnya, terjadinya gagal panen pada lahan seluas itu adalah disebabkan ketidaktahuan masyarakat atas yang mereka lakukan. Perlakuan mereka terhadap tanaman tidak memperhatikan pola tanam, pupuk, dan kondisi lingkungan tempat mereka menanam.
“Itukan kita nggak pakai urea sama sekali, karena curah hujan tinggi. Lalu mereka di situ cenderung menggunakan air dalam jumlah yang banyak dan terus menerus. Jika itu dilakukan dengan bantuan sinar matahari, itu akan meracuni tanah. Berarti akan terjadi keracunan akar tanaman, akar tanaman akan rusak, serangan hamanya akan tinggi,” ungkapnya.
Sisi lain yang menarik, imbuh Syafi’i, adalah model pertanian yang diterapkan pada lahan wakaf tersebut dilakukan secara organik. Pada lahan seluas 17 ha tersebut ditanami padi menggunakan metode tanam organik.