MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Syariah hadir bertujuan untuk membawa rahmat bagi semesta alam (QS. Al Anbiya: 107), menjadi penyembuh dan petunjuk bagi orang-orang beriman (QS. Yunus: 57), dan tidak membawa kesulitan (QS. Al Maidah: 6). Menurut Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Qaem Aulassyahied, salah satu aspek yang dapat merusak tujuan dari syariat ini adalah hilah.
Qaem menjelaskan bahwa “hilah” berasal dari kata al-ihtiyal yang berarti tipu muslihat. Meski Imam al-Syatibi mengartikan kata hilah ini dengan kecerdasan atau kecerdikan, namun kata ini umumnya berkonotasi negatif. Secara istilah, hilah ialah sesuatu yang mengantarkan kepada tujuan yang tersembunyi. Pada dasarnya jumhur ulama sepakat bahwa hilah sesuatu yang dilarang karena sangat potensial merusak syariat.
“Orientasi dari hilah itu adalah melakukan perbuatan yang sebenarnya benar tetapi ditujukan untuk maksud yang salah. Tujuan yang dari perbuatan hilah yang diharamkan ini adalah untuk mengubah hukum syariat dengan melakukan sesuatu tetapi tidak untuk mewujudkan maksud dari perbuatan tersebut,” terang Qaem sambil mengutip pendapatnya Ibnu Taimiyah dalam acara yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bantul pada Rabu (20/10).
Secara sederhana, hilah dapat dipahami dengan memanfaatkan perbuatan yang benar tetapi dalam rangka mewujudkan tujuan yang salah. Al Quran dalam beberapa ayat telah menggambarkan perbuatan hilah ini seperti dalam QS. Al-Baqarah ayat 9 tentang orang-orang yang berpura-pura beriman kepada Allah Swt.
Contoh perbuatan hilah: sengaja menggugurkan kewajiban zakat hartanya yang akan mencapai satu tahun (masa haul) dan menukarkannya dengan barang lain atau dengan menjualnya karena takut zakat, yang kemudian uangnya dibelikan barang sejenis atau yang lainnya.
Contoh perbuatan di atas merupakan sesuatu yang akan menghancurkan sumber syar’i yang sebenarnya, serta meniadakan maslahat syar’i yang terdapat di dalamnya. Qaem menuturkan bahwa unsur yang paling merusak dari hilah ini ada dua, yaitu pertama, memanipulasi dan mempermainkan syariat; dan kedua, menjadikan syariat sebagai tunggangan hawa nafsu.
“Dari dua sifat ini harus kita jauhi dan kita upayakan agar tidak terjadi pada diri kita. Karena pada masa kontemporer seperti ini pun, unsur merusak hilah ini bisa jadi ada pada beberapa praktek bermasyarakat muslim. Dari sisi politik, misalnya, menggunakan aksesoris-aksesoris yang berbau agama atau pendukung fanatik kepada tokoh tertentu secara berlebihan,” tegas Qaem.
Hits: 127