MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Dalam kaitannya untuk membentuk masyarakat yang sehat, suatu kebudayaan menyimpan kearifan dan nilai luhur. Termasuk dalam membentuk keluarga yang sehat, kebudayaan Jawa misalnya telah menentukan prinsip ketahanan keluarga yang selaras dengan nilai syariat, terangkum dalam akronim Guci Lenga Kayu Gapuk.
Ketua Lembaga Kebudayaan PP ‘Aisyiyah Mahsunah Syakir menjelaskan bahwa prinsip tersebut dapat digunakan sebagai prinsip mejaga keharmonisan keluarga.
“Guci artinya lugu dan suci. Suami istri harus apa adanya, tidak ada yang ditutup-ditutupi atau dirahasikan. Suci, harus menjaga kesucian dirinya. Fashalihatu qanitatun hafizatun lil ghaibi bimaa hafizallah,” jelas Mahsunah mengutip ayat ke-34 surat An-Nisa tentang ciri perempuan yang taat.
Dalam Pengajian Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, Jumat (22/1) Mahsunah menjelaskan bahwa setelah Guci, makna Lengo artinya adalah siji menteleng, siji lungo yang berarti jika satu pihak marah, maka sebaiknya pihak lainnya menghindar, diam atau mengalah.
“Jika satu melotot, satu pergi. Artinya kiasan emosi jangan lawan emosi, tapi mengalah. Karena kalau istri kadang punya kegundahan pulang itu tueng-tueng, diceritakan, lalu lega. Tapi kalau laki-lai tidak. Sikapnya saja marah, lalu tidur,” jelasnya.
Sementara itu arti Kayu adalah nek siji teko, seng siji ngguyu. Pasangan harus saling menunjukkan sikap saling dukung dan apresiasi.
“Jika satu itu ada maka harus tetap tersenyum, apakah tanggal tua atau tanggal mudah itu juga harus menunjukkan sikap yang manis dan ramah. Artinya menunjukkan sikap yang riang dalam kondisi apapun di hadapan pasangan dan anak-anaknya,” urai Mahsunah.
“Gapuk. Kalau njur wes digawe lego njur dipukpuk. Kalau salah satunya sudah membuat prestasi, sudah mengerjakan sesuatu dengan baik supaya dihargai,” imbuhnya.
“Kalau resep-resep tadi bagaimana merajut dan merawat keluarga sakinah itu dilakukan, insyaallah tidak akan terjadi perselingkuhan,” tutup Mahsunah. (afn)