MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PCIM Arab Saudi Nur Fajri Romadhon beserta kader-kader muda Majelis Tarjih dan Tajdid mendaras ketentuan-ketentuan puasa menurut pandangan Mazhab fikih. Dalam kajian yang diselenggarakan pada Sabtu dan Ahad (02-03/04) ini, bahan yang didaras ialah kitab Ghayah at-Taqrib karya Ahmad bin al-Husain Al-Syafii dan kitab Akhsharul Mukhtasharat karya Muhammad bin Badruddin Al-Hambaly.
Ketentuan Puasa dalam Mazhab Syafii
Dalam kitab Ghayah at-Taqrib disebutkan bahwa syarat wajib puasa ada empat yaitu Islam, baligh, berakal sehat, dan mampu berpuasa. Adapun rukun antara lain niat, menahan diri dari makan dan minum, jimak (hubungan intim), sengaja muntah. Tiga hal yang disunnahkan dalam puasa yaitu menyegerakan berbuka, mengakhirkan makan sahur, dan meninggalkan perkaatan buruk.
Para sepuh yang tidak kuat berpuasa, boleh berbuka dan wajib baginya memberi makan kepada orang miskin untuk setiap meninggalkan puasa satu mud. Sementara perempuan hamil dan perempuan yang menyusui jika mereka merasa khawatir akan dirinya sendiri, boleh berbuka dan diwajibkan bagi keduanya untuk mengqadha.
Pandangan Mazhab Syafii tentang qadha puasa bagi perempuan hamil dan menyusui ini berbeda dengan Fatwa Tarjih. Dalam ketentuan Tarjih, perempuan hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa asalkan membayar fidyah. Namun dirinya menegaskan bahwa secara umum ketentuan Mazhab Syafii dan Majelis Tarjih banyak persamaan seperti disunahkan untuk mengakhirkan makan sahur, menyegerakan berbuka, dan meninggalkan perkaatan buruk.
Ketentuan Puasa dalam Mazhab Hambali
Dalam Mazhab Hambali, puasa hukumnya wajib jika: setiap muslim yang mukallaf dan mampu, melihat hilal bulan Ramadan walau dari satu orang saksi yang adil atau menggenapkan bulan sya’ban jadi 30 hari karena tertutupinya hilal baik oleh cuaca mendung maupun gunung atau selain keduanya. Apabila hilal terlihat pada siang hari, maka wajib puasa untuk esok harinya.
Para sepuh dan orang sakit yang sulit sembuh boleh untuk tidak puasa, sebagai gantinya mereka harus memberi makan setiap hari kepada orang miskin. Disunahkan bagi orang yang sakit (sementara) dan orang yang sedang dalam perjalanan (sejauh dibolehkannya salat qashar) untuk tidak berpuasa, dan wajib mengqadha.
Disunahkan untuk menyegerakan berbuka puasa, mengakhirkan makan sahur, mengucap apa-apa yang datang dari Nabi Saw ketika berbuka, dan menyegerakan qadha puasa secara langsung sebab haram hukumnya.
Pandangan Mazhab Hambali ini berbeda dengan Fatwa Tarjih tentang metode penentuan awal bulan. Banyak pihak yang mengklaim bahwa rukyat sebagai metode penentuan awal bulan merupakan ijma ulama. Padahal, sejumlah ulama mendukung penggunaan hisab seperti Rasyid Ridha, Faisal Maulawi, dan lain sebagainya. Dengan adanya ulama yang mendukung hisab, gugur sudah klaim ijmak tersebut.
Meski ada perbedaan, banyak juga persamaannya dengan Mazhab Hambali seperti fidyah diberlakukan bagi orang tua yang sudah sepuh dan orang sakit yang tidak kunjung sembuh. Mereka boleh untuk tidak berpuasa tapi sebagai gantinya diwajibkan untuk memberi makan kepada orang miskin sebesar satu mud atau 0,6 kg beras sepanjang puasa yang ditinggalkan.