MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Salah satu materi Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-31 adalah Fikih Difabel. Istilah ‘difabel’ ini baru populer dalam beberapa tahun belakangan di kalangan akademisi dan para pegiat difabel. Sebelumnya banyak istilah lain yang mengalami pergeseran penyebutan seiring perkembangan zaman. Departemen Sosial pada tahun 1970-an menggunakan penyebutan ‘tuna’.
“Masa Orba (Orde Baru) diperhalus dengan sebutan tuna netra, tuna rungu, tuna wicara, tuna daksa, dan tuna grahita. Meskipun istilah tersebut bertujuan sebagai penghalusan, kata ‘tuna’ sendiri secara harfiah berarti kekurangan,” kata Ali Yusuf dalam acara Sarasehan dan Diskusi Online Diseminasi Materi Munas Tarjih Muhammadiyah ke-31 pada Sabtu (14/11).
Ali menjelaskan penyebutan ‘tuna’ kemudian diganti dengan ‘penyandang cacat’. Penyebutan tersebut berangkat dari asumsi bahwa mereka akan menyandang sesuatu yang melekat selama hidup mereka. Istilah ini juga digunakan lantaran mereka akan menemui hambatan-hambatan dalam hidupnya yang berkaitan dengan kecacatannya tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, terang Ali, pemerintah lebih akrab dengan sebutan ‘penyandang disabilitas’ yang termaktub dalam UU No. 8 tahun 2016. Istilah ini pun kemudian populer baik di dunia internasional maupun di dalam negeri. Organisasi Islam lain, misalnya, menggunakan istilah ini dalam buku panduan ibadah dengan judul Fikih Disabilitas. Sementara Muhammadiyah lebih memilih menggunakan istilah Difabel.
Istilah ‘Difabel’ Lebih Manusiawi dan Bermartabat
Ali menerangkan bahwa kesepakatan menggunakan istilah Difabel terjadi saat Workshop Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah pada Desember 2018. Ia menegaskan bahwa penggunaan istilah difabel untuk menujukkan posisi Muhammadiyah melihat bahwa semua manusia “punya kemampuan berbeda-beda.”
“Workshop Majelis Tarjih PP, Desember 2018 memperjuangkan istilah Difabel atau diferent and ability, dengan kata lain perbedaan kemampuan. Disepakti dan dipakai Majelis Tarjih PP dengan alasan lebih manusiawi dan bermartabat,” terang Ali.
Majelis Tarjih meyakini bahwa penyebutan difabel dianggap lebih baik dan tidak diskriminatif. Karena pada dasarnya, setiap makhluk yang Allah cipatakan memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Hanya saja ada beberapa orang yang memerlukan alat bantu agar mereka mampu melakukan sesuatu. (ilham)
Hits: 43