Ilham Ibrahim
Salah satu konsep penting dalam al-Qur’an adalah tentang “din”. Kata “din” menunjuk kepada makna-makna yang berbeda, seperti hari akhirat (QS. Al Fatihah: 3), hari kiamat (QS. Al Hijr: 35), balasan (QS. Az Zariyat: 6), dan sebagainya. Sebagian besar ayat Al-Qur’an menunjukkan kata din dengan arti agama. Sayangnya, di masyarakat luas istilah din jarang menunjuk kepada pemikiran filosofis dan pandangan dunia yang dapat diterapkan dalam kehidupan umat Islam.
Naquib Al-Attas, filsuf Islam asal Malaysia, mencari makna terdalam dari Islam sebagai din. Secara bahasa, kata din berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk masdar dari kata kerja dana-yadinu-daynan yang secara sederhana berarti utang. Uniknya, terdapat hubungan semantik antara din (agama) dan dayn (utang) yang membawa pada satu paradigma bahwa manusia berutang kepada Tuhan karena telah menciptakan (QS. Al-An’am: 102) dan memelihara (QS. Qaf: 7-11) kehidupan mereka.
Menarik untuk direnungkan apa jadinya bila kita hanya menjadi sel sperma yang dibuang sia-sia di kamar mandi tanpa berubah menjadi segumpal darah (‘alaqah), kemudian menjadi daging (mudghah), dan berkembang menjadi manusia. Atas izin Allah, kualitas manusia juga diberikan akal, kalbu, nafsu, dan petunjuk melalui Kitab Suci beserta sosok tauladan seorang Rasul. Seandainya kita tidak diciptakan Allah, kita takan menikmati segala drama kehidupan dari yang paling menyedihkan sampai paling membahagiakan.
Selain mencipta, Allah juga memelihara wujud manusia dengan menyiapkan segala fasilitas kehidupan secara gratis. Manusia tidak memiliki kuasa untuk menciptakan air, menggerakkan awan, menghasilkan logam, membikin binatang, dan membuat pohon. Manusia hanya mampu mengolah, membentuk, memperdayakan, menyusun, dan memanfaatkan segala fasilitas kehidupan yang terhampar luas di semua gugusan semesta ini. Semua harta kekayaan yang ada di bumi merupakan milik Allah, sementara kepemilikan manusia hanya bersifat nisbi.
Karenanya menurut Ridwan Arif, dosen Universitas Paramadina, utang eksistensial manusia kepada Allah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: kemunculan eksistensi dan kebertahanan eksistensi. Dalam kitab Al-Hikam, sufi asal Mesir Syekh Ibnu Athaillah As Sakandari mengungkapkan bahwa Allah telah memberi dua kenikmatan kepada kita, yaitu nikmat penciptaan (ijad) dan nikmat pemenuhan kebutuhan yang tidak pernah terputus (imdad). Inilah salah satu alasan kenapa kita harus beragama karena kita berutang kepada Allah.
Cara Menebus Utang Kepada Allah
Jadi beragama itu adalah proses utang-piutang manusia dengan Tuhan. Tetapi utang-piutang dalam beragama ini tidak perlu dibayar dengan uang. Cara melunasinya dengan memeluk Islam secara penuh (Al-Baqarah: 208). Menariknya, kata “Islam” sendiri dalam bahasa Arab berarti taat, tunduk, patuh, berserah diri hanya kepada Allah. Maka tidak heran bila di dalam Al Quran disebutkan: “sesungguhnya agama di sisi Allah hanyalah Islam” (QS. Ali Imran: 19); “barang siapa mencari agama selain Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya” (QS. Ali Imran: 19).
Hadirnya Islam untuk menuntun manusia agar mau beribadah sebagai medium menebus utang. Baik Ibadah mahdlah maupun ibadah muamalah merupakan manifestasi ketaatan seorang hamba kepada Rabb-Nya. Bedanya, hukum dasar ibadah mahdlah adalah haram sampai benar-benar ada dalil yang mengaturnya. Sehingga segala ukuran, waktu, volume, harus disesuaikan dengan dalil (nash). Sementara itu, hukum dasar muamalah adalah mubah sampai benar-benar ada dalil yang melarangnya. Sehingga segala kegiatan sosial dibolehkan kecuali unsur-unsur yang telah tegas dilarang dalam agama.
Artinya, membayar utang pada Tuhan tidak diasosiasikan dengan penyendirian di tempat yang paling kudus, pertapaan di ruang gelap untuk menyatu dengan Tuhan, atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat ramai. Melainkan dengan melaksanakan ibadah yang sesuai dengan Al Quran dan al Sunah, menjauhi larangan Allah seperti syirik, takhayul, bidah, khurafat, serta melakukan inovasi di bidang muamalah yang mampu menghilangkan jejak kemudlaratan dan menciptakan kondisi kemaslahatan untuk seisi alam semesta.
Hal di atas mungkin dapat menjadi bahan refleksi spiritual bahwa sekiranya kita sadar akan hal ini, sadar bahwa diri kita sesungguhnya dalam keadaan berutang, maka kita tidak akan pernah menolak ajaran agama Islam, tidak akan merasa berat melaksanakan ibadah, dan segala amal perbuatan akan selalu diniatkan karena Allah. Sekaligus juga sebagai penyembuh bagi penyakit hati, seperti dengki, iri, takabur, dan riya, bahwa tidak ada yang perlu kita banggakan, termasuk ibadah kita, karena amal saleh yang kita lakukan di dunia ini sejatinya sedang mencicil utang pada Tuhan.