MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Mengapa perspektif gender penting diperhatikan dalam melihat penanganan bencana? Karena adanya norma-norma yang berlaku di masyarakat dan karena ekspektasi sebagai perempuan dan laki-laki di tengah masyarakat menyebabkan kesenjangan yang terjadi dan berakibat pada krisis yang dialami perempuan.
Dati Fatimah, Anggota Lembaga Penelitian dan Pengembangan ‘Aisyiyah (LPPA) Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah mengatakan aspek kerentanan perempuan dan kelompok marginal lainnya sering mendapatkan resiko yang berlipat. Karena memang kita (perempuan) sering diposisikan mengambil peran-peran yang tidak punya aspek sumberdaya, pengambilan keputusan dan seringkali tidak mendapatkan cukup pengakuan. Maka, kerentanan perempuan ketika menghadapi bencana itu sebenarnya produk budaya. Bahkan terjadinya sebelum ada bencana itu datang.
“Dulu pernah ada kasus di Bangladesh saat terjadi Topan Besar memakan korban 90%nya perempuan hampir sama saat terjadi tsunami aceh karena tadi itu perempuan tidak semua memiliki keterampilan penyelematan diri, mau keluar tidak berani harus menunggu ijin laki-laki suami dan lain sebagainya padahal dia harusnya bisa mencari bantuan dan sebagainya. Itu merupakan produk budaya,” ujar Dati dalam pengajian Perempuan dan Bencana, Ahad (24/01).
Banyak hal dari kesenjangan gender itu sudah ada sebelum terjadi bencana, kalau kita lihat data-data pembangunan, soal partisipasi angkatan kerja dan kesempatan kerja bagi laki-laki dan perempuan itu ternyata partisipasi kerja perempuan hanya sekitar 50%, laki-laki 80%.
Menurut Dati, ini bisa terjadi karena misalnya laki-laki dianggap sebagai pencari nafkah utama perempuan dalam usia-usia produktif memilih kembali kerumah mengurus anak dan sebagainya. Kesenjangan yang sudah ada sebelum bencana ini bisa diperparah dengan kehadiran bencana alam maupun non alam.
Laki-laki juga Mengalami Kerentanan dalam Penjelasan yang Berbeda
“Saya tidak mengatakan bahwa laki-laki tidak mengalami kerentanan, laki-laki juga mengalami kerentanan dengan penjelasan yang berbeda dari perempuan. Contoh, data terbaru setelah pandemic ini jumlah laki-laki yang terkenan covid-19 lebih banyak dari pada perempuan. Yang kemudian meninggal juga laki-laki mengapa? Karena secara sosial laki-laki diajarkan untuk mobilitasnya lebih banyak sehingga mereka lebih beresiko,”jelas Dati.
Laki-laki mungkin tidak terlalu care dengan aspek-aspek seperti menjaga kebersihan, kalau perempuan dari kecil diajarkan untuk peduli kebersihan dari kecil dan peduli. Dalam konteks pandemic ini peduli protocol kesehatan. Laki-laki ternyata tidak, hasil survey badan pusat statistic (BPS) mengamini hal itu.
Di kondisi pandemic sekarang ini laki-laki banyak melakukan hal-hal yang meningkatkan resiko terpapar seperti merokok. Itu berkontribusi pada komorbidnya, jadi laki-laki juga bisa mengalami kerentenan tapi penjelasannya berbeda dengan perempuan. Dan keduanya menjelaskan tentang norma praktek terkait dengan gender itu dilakukan dengan yang sifatnya kehidupan sehari-hari yang dijalankan.
Perempuan Aktif Merespon Bencana
Walaupun menghadapi kerentanan yang berlapis-lapis sebenarnya perempuan itu bukan pihak yang pasif dalam merespon bencana.
“Kita punya banyak cerita bahwa perempuan juga menjadi tulang punggung bukan hanya laki-laki untuk menyelamatkan kehidupan. Contoh, kalau ada bencana itu kalau mau ada yang berdiri upaya penanganan utamanya dapur umum. Itu biasanya yang berpikir perempuan, di RT ibu-ibu berkumpul untuk mengupayakan adanya dapur umum. Ini meggambarkan skema yang paling umum dan cepat perempuan menjadi yang utama berpikir dan memastikan bahwa semua orang makan. Belum soal lain seperti pendataan, trauma healing, dan lainnya,” papar Dati.
Tetapi persoalannya, cerita-cerita perempuan yang menjadi tulang punggung itu sering kali itu terabaikan tidak muncul kepermukaan tidak nampak. Yang dapur umum itu kalah heroik lah dengan yang evakuasi yang pake rompi oranye dan sebagainya.
Dati mengungkapkan Ibu-ibu yang dapur umum itu minim apresiasi. Mereka tidak pakai seragam, tidak terlihat keren, dan tidak tampak heroik. Walaupun sebenarnya mereka sangat luar biasa dalam memastikan kehidupan kita terus berjalan.
“Itu menggambarkan sering kali perempuan tidak cukup pengakuan, tidak dilibatkan dalam penentuan kebijakan, perempuan juga tidak terwakili dalam struktur penanganan bencana termasuk dalam situasi krisis. Akibatnya kepentingannya kemudian tidak terakulasikan dan terakomodasi,” kata Dati.