Mereka yang tidak terbiasa dengan sejarah intelektual Islam mungkin berasumsi bahwa kebanyakan sarjana Muslim awal adalah orang Arab. Dan beberapa mungkin terkejut mendengar bahwa di antara para sarjana awal ini banyak yang telah menjadi budak. Tulisan berikut ini untuk menunjukkan bahwa seruan Islam untuk kesetaraan ras menghasilkan atmosfer ilmiah meritokratis yang memungkinkan para sarjana dari semua latar belakang untuk berpartisipasi dalam pencarian dan pelestarian pengetahuan.
Orang Arab memang memainkan peran yang sangat penting dalam keilmuan Islam, khususnya pada periode awal, ketika sebagian besar Muslim adalah orang Arab. Seiring waktu berjalan, bangsa non-Arab menjadi mayoritas. Dominasi awal orang Arab tidak menegasikan ajaran Islam bahwa ketakwaan dan pengetahuan yang menentukan kedudukan seorang ulama, bukan ras atau latar belakang. Komunitas Muslim awal memungkinkan orang-orang dari semua latar belakang masyarakat untuk berkontribusi pada pengembangan pengetahuan Islam.
Siapakah Mawālī itu?
Di utara Yaman, Semenanjung Arab pada abad ke-7 tidak memiliki negara bagian atau pemerintahan formal. Individu hanya memiliki keluarga dan suku mereka untuk diandalkan dalam perlindungan. Masyarakat pada saat itu tidak memiliki polisi atau pengadilan. Sebaliknya, ada struktur sosial kesukuan. Untuk menikmati keamanan seseorang harus berafiliasi dengan suatu suku. Meskipun tidak identik, kita dapat membandingkan fungsi suku di Arabia dengan fungsi geng di dunia modern. Orang-orang memiliki kesetiaan mutlak dan fanatisme buta terhadap suku-sukunya karena mereka bergantung padanya untuk kelangsungan hidup.
Islam menantang sistem kesukuan dengan menegaskan bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan dan seseorang harus membela keadilan bahkan jika harus merugikan kerabat terdekat (QS. An-Nisa: 135). Wanita, anak yatim, dan budak adalah yang paling rentan di Arab abad ke-7. Keadilan dan kesetaraan adalah tema sentral dari pesan kerisalahan Muhammad. Ketika dia mendengar tentang seorang wanita tua yang diperlakukan dengan kejam di negeri tetangga, Rasulullah Saw bersabda, “Bagaimana Tuhan akan menyucikan sebuah bangsa yang tidak melindungi kaum miskinnya dari kekuatannya?” (HR. Ibnu Majah).
Menurut Ovamir Anjum, Al-Qur’an dan Sunnah melembagakan suatu tatanan di mana keadilan dan hak-hak dasar dimiliki oleh semua orang, bahkan non-Muslim, dan dijamin oleh pemerintah, yang oleh Nabi disebut sebagai “wali bagi mereka yang tidak memiliki wali” (HR. Ahmad). Pergeseran dari sistem kesukuan yang mengutamakan suku-suku tertentu di atas yang lain ke komunitas Muslim universal tidak terjadi dalam semalam. Sebaliknya, itu adalah proses bertahap yang berlangsung selama beberapa tahun.
Di Arabia pada abad ke-7, ada cara bagi orang asing untuk diintegrasikan ke dalam sistem kesukuan, dan ini akan terbukti penting untuk transisi dari sistem kesukuan jahiliyyah ke aturan hukum dalam Islam. Orang asing, orang Arab yang pindah dari daerah lain, dan individu lain yang tidak terikat dalam suatu suku dapat menjadi afiliasi (mawlā, jamak mawālī) dari suatu suku. Ini juga status yang diberikan kepada budak yang telah bebas. Ketika seorang anggota suku Arab membebaskan budak mereka, maka secara otomatis budak tersebut akan menjadi afiliasi dari suku tersebut. Pada dekade-dekade awal Islam, istilah mawālī merujuk pada budak yang dibebaskan maupun bangsa non-Arab.
Kebijakan Mawlā era Dinasti Umayyah
Ketika umat Islam berkembang di luar Arab, kedua arti dari istilah mawālī menemukan penggunaan yang jauh lebih besar. Saat Islam mulai memasuki tanah beradab di dunia Mediterania dan Persia, di mana perbudakan telah lama menjadi bagian penting dari ekonomi dan perdagangan, para penakluk Muslim Arab juga menemukan diri mereka dengan banyak tawanan, dan mereka juga diberikan budak oleh sekutu sebagai penghargaan. Umat Islam yang mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah, membebaskan banyak budak, terutama mereka yang telah menjadi Muslim, dan sebagian besar dari kelas mawālī Muslim baru adalah mantan budak atau anak-anak dari budak tersebut.
Kebijakan mawlā ini ditetapkan oleh dinasti Umayyah, dan bentuk awalnya begitu sangat kontroversial. Umayyah awal telah menggunakan kesukuan sebagai alat politik, dan mawālī menjadi ancaman bagi sistem kesukuan. Menurut Elizabeth Urban, bangsa non-Arab yang masuk Islam semuanya disebut sebagai mawālī dan meskipun Muslim, mereka memiliki status yang lebih rendah daripada Muslim Arab. Preferensi pemerintah Umayyah terhadap Muslim Arab menimbulkan perselisihan karena bertentangan dengan penegasan Al-Qur’an bahwa semua Muslim adalah sama.
Non-Muslim yang tinggal di dinasti Umayyah diwajibkan membayar pajak yang disebut jizyah. Jika seorang non-Muslim tersebut masuk Islam yang secara otomatis menjadi mawālī, ia tetap harus terus membayar jizyah. Para ulama keberatan dengan kebijakan ini dan berpendapat bahwa orang Arab dan non-Arab adalah sama. Menurut Elizabeth Urban, pada saat Umar ibn Abd al-ʿAzīz memimpin Dinasti Umayyah, ia mendengarkan nasihat para ulama saleh yang kemudian mengakhiri undang-undang yang mendiskriminasikan mawālī tersebut.
Ketika keluarga Abbasiyah mengambil alih kekhalifahan, mereka segera menghilangkan semua kebijakan yang tersisa yang membedakan antara orang Arab dan mawālī, dan tidak lagi dianggap sebagai kelas masyarakat yang lebih rendah. Mereka mencapai kesetaraan sosial, pendidikan, dan ekonomi dengan orang Arab setelah para cendekiawan menentang gagasan bahwa orang Arab lebih unggul daripada orang non-Arab. Seiring waktu berjalan, Arab dan non-Arab tidak lagi dianggap sebagai perbedaan etnis atau kesukuan. Budaya Islam menjadi identitas bersama semua orang, dengan bahasa Arab menjadi bahasa ibu jutaan orang di bawah kekuasaan Abbasiyah.
Kontribusi Mawālī untuk Keilmuan Islam
Pada masa Khulafaurrasyidin, mawālī mulai memainkan peran penting dalam pemerintahan dan pendidikan Islam. Peran mawālī meningkat bahkan di bawah kekuasaan Bani Umayyah. Hanya dalam waktu singkat, hampir semua pusat pembelajaran utama dipimpin oleh mawālī. Pemeriksaan literatur biografi (thabaqāt) dengan jelas menggambarkan bahwa bukanlah kejadian langka untuk melihat seorang mawlā dalam posisi kepemimpinan agama.
Untuk sekadar menyebut nama, ‘Ikrimah Mawla Ibn Abbas, seorang mantan budak Sahabat Nabi Ibnu Abbas, perawi hadis, ahli hukum, dan ulama tafsir terkemuka. Thawus ibn Kaysan, salah satu murid paling terkenal dari Ibn Abbas, dan merupakan guru Umar ibn Abd al-Azaz. Sulayman ibn Yasar, berasal dari Persia dan budak yang dibebaskan dari istri terakhir Nabi Maymuna binti al-Harith, menjadi salah satu dari tujuh ahli hukum besar Madinah. Muhammad Ibnu Sirin, ayahnya budak yang dibebaskan dari Sahabat Nabi Anas ibn Malik, Ibnu Sirin adalah seorang ulama terkemuka dalam tafsir, hadis, dan fikih.
Peran non-Arab di semua bidang kehidupan, bagaimanapun, benar-benar berkembang di bawah Abbasiyah. Banyak juru tulis pemerintah Abbasiyah adalah orang Persia. Juru tulis, yang dikenal sebagai kuttāb, memainkan peran penting dalam masyarakat dan memiliki pengaruh politik dan sosial yang cukup besar. Mawālī dengan cepat menjadi mayoritas signifikan dari kelas ilmiah dan politik Muslim.
Misalnya, Amr ibn Uthman atau yang lebih dikenal sebagai Sibawaih, adalah seorang Persia dan ahli tata bahasa terkemuka di Basra dan menulis buku pertama tentang tata bahasa Arab. Buku lima jilidnya yang disebut “Kitab” (Al-Kitāb), adalah teks dasar dalam tata bahasa Arab dan dianggap tak tertandingi di antara buku-buku tata bahasa. Ada pula Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi yang diikuti oleh sekitar sepertiga dunia Muslim saat ini, ia keturunan Persia dan dianggap sebagai salah satu ulama terbesar dalam hukum Islam.
Setengah Perawi adalah Mantan Budak
Begitu pula dengan koleksi hadis sunnah yang agung. Semua penyusun dari enam buku hadis terkenal adalah non-Arab dan hampir setengah dari perawi dalam kompilasi hadis kanonik ini adalah mawālī. Ini menunjukkan bahwa menjadi mantan budak atau non-Arab tidak menghalangi seseorang untuk memainkan peran penting dalam melestarikan Sunnah, sumber utama kedua Islam. Menurut Ibn Khaldn, salah satu alasannya adalah karena banyak orang yang masuk Islam berasal dari tempat-tempat di mana masyarakat umum dilatih untuk membaca dan menulis.
Pada akhirnya, para mawālī-lah yang melangkah dan memainkan peran utama dalam pembentukan ilmu-ilmu keislaman. Setelah periode para Sahabat, Al-Qur’an membutuhkan tafsir, hadis perlu disusun, kamus perlu ditulis, dan keadaan yang benar-benar baru muncul dengan sendirinya yang membutuhkan aturan fikih baru. Mawālī memiliki dampak yang tak terbantahkan pada tradisi keilmuan Islam. Mereka berkontribusi pada fikih, hadis, tafsir, teologi, dan tata bahasa Arab.
Kesarjanaan Islam awal tetap berhutang budi pada kontribusi non-Arab dan budak. Ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa seruan Islam untuk kesetaraan dan menciptakan lingkungan di mana setiap orang dapat berkontribusi pada pengetahuan, terlepas dari ras atau status sosial.
Naskah: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS