Cita-cita pendidikan Muhammadiyah adalah menunjukkan jalan terang cahaya kebenaran Islam. Gerakan pencerahan Islam bagi kelompok intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi di Muhammadiyah adalah hal wajib. Pendidikan Muhammadiyah merupakan pendidikan Islam modern yang mengintegrasikan agama dengan kehidupan, dan antara iman dengan kemajuan yang holistik.
Karenanya, filosofi pendidikan Muhammadiyah pada level pendidikan tinggi adalah mengintegrasikan iman dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni (IPTEKS). Integrasi iman dan IPTEKS adalah hasil pemikiran rasional secara holistik dan komprehensif atas realitas alam semesta (ayat kauniyah) serta atas wahyu Allah dan sunah Nabi Saw (ayat qauliyah). Keduanya dipandang sebagai satu kesatuan integral melalui kegiatan penelitian dan pengembangan yang terus menerus digalakkan bagi kemuliaan manusia.
Empat Dharma Pendidikan Muhammadiyah
Ditinjau dari filosofi pendidikan Muhammadiyah di atas, Syamsul Anwar pernah menyebut bahwa Perguruan Tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA) memiliki empat darma, yaitu pendidikan/pengajaran, pengembangan ilmu pengetahuan/penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan pengembangan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK). Darma yang terakhir disebutkan merupakan konsekuensi logis belaka dari jati diri Muhammadiyah-‘Aisyiyah.
Pasalnya, dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, bersumber pada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Konsekeunsinya adalah PTMA harus mengemban amanah untuk mewujudkan salah satu misi Muhammadiyah yaitu menyelenggarakan pendidikan AIK sebagai bagian dari dakwah amar makruf nahi munkar.
Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Jadi Ruh Penggerak
Tidak heran bila Haedar Nashir pernah mengatakan bahwa pendidikan AIK memiliki posisi strategis, menjadi ruh penggerak, dan misi utama penyelenggaraan PTMA. Pendidikan AIK juga menjadi kekuatan PTMA karena dapat menjadi basis kekuatan spiritual, moral dan intelektual serta daya gerak bagi seluruh civitas akademika. Keberhasilan pendidikan AIK menjadi salah satu indikator ketercapaian misi penyelenggaraan dan pengelolaan PTMA.
Karenanya, Syamsul Anwar mengajak agar memandang AIK ini dipahami secara luas. Menurutnya, AIK adalah keseluruhan ajaran Islam yang meliputi akidah, akhlak, ibadah, dan muamalat duniawiah yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad Saw sebagaimana yang dipahami Muhammadiyah.
5 Topik Rekonstruksi Paradigma Al-Islam dan Kemuhammadiyahan
Dalam buku Pedoman Pendidikan Al-Islam dan Kemuhammadiyahan Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang diterbitkan Majelis Pendidikan Tinggi PP Muhammadiyah pada tahun 2013 menyebutkan bahwa tujuan pendidikan AIK adalah membentuk insan berkarakter dan insan terpelajar yang diharapkan memiliki integritas dan kesadaran etis. Karenanya, dalam buku tersebut menyebutkan lima poin diskursus dalam rekonstrusi paradigma baru AIK, di antaranya:
- Diskursus Pemikiran Keagamaan
Dalam Manhaj Tarjih Muhammadiyah, agama adalah suatu tatanan normatif yang menjadi kerangka rujukan dan sekaligus bimbingan bagi manusia dalam menjalani hidupnya untuk mencapai kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Dari segi hakikatnya, agama adalah sebagaimana yang diresapi dan dimanifestasikan oleh pelakunya. Dengan demikian, agama meliputi unsur-unsur (1) inti yang berupa pengalaman imani, (2) bentuk yang berupa norma-norma syariah sebagai kerangka rujukan, dan (3) manifestasi yang berupa amal.
Paham agama yang diyakini Muhammadiyah tidak bercorak teosentrisme sebab hanya menempatkan manusia sebagai hamba Tuhan dan terkadang kurang aspiratif terhadap sisi kemanusiaan. Dalam paradigma Muhammadiyah, pendidikan AIK mengandung perspektif teo-antroposentrisme yang memadukan antara orientasi habl min Allah (hubungan dengan Allah, teosentrisme) dan habl min al-nas (hubungan dengan manusia, antroposentrisme) sehingga utuh dan seimbang.
- Diskursus Tentang Tuhan
Dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT), persoalan akidah dikemukakan dalam Kitab Iman yang merupakan hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo tahun 1929. Kitab Iman dibangun di atas landasan rukun Islam yang lima dan rukun iman yang enam dan diikuti dengan dalil-dalil yang meneguhkan keimanan dan keyakinan umat. Diktum keimanan itu ditambah dengan pernyataan bahwa alam adalah creatio ex nihilo, artinya alam itu diciptakan dari ketiadaan dan akhirnya nanti akan musnah. Pemahaman mengenai alam ini sebagai sarana untuk memperoleh pengertian bahwa Allah hukumnya adalah wajib al-wujud.
Allah swt sebagai satu-satunya entitas yang wajib al-wujud, selain-Nya atau alam semesta dan segala isinya adalah mumkin al-wujud. Dalam Kitab Iman juga meyakini bahwa Allah Swt tidak bermula dan tidak berakhir (qadim dan baqa’). Jika Allah Swt bersifat qadim dan baqa’, maka alam semesta yang tercipta dari ketiadaan memiliki permulaan (hadits). Konsekuensinya, realitas alam semesta akan selalu tersusun atas esensi (jawhar) dan aksiden (‘aradh), sedangkan Allah Swt bersifat tanzih atau laysa kamitslihi syai’ (dalam bahasa Asy’ariyah disebut mukhalafat lil-hawadits).
Meski terkesan berbelit-belit, rumusan paham akidah Muhammadiyah lebih menekankan untuk tidak membicarakan hal-hal yang tidak tercapai oleh akal, sehingga cukuplah berpikir mengenai makhluk-Nya untuk membuktikan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Muhammadiyah tidak ingin terjebak dalam debat yang melelahkan seputar akidah, sehingga melupakan hal-hal yang lebih esensial dan nyata seperti menciptakan kesejahteraan umat dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Makanya, diskursus tentang Tuhan dalam AIK hanya difokuskan pada istilah “Allah” dan Rabb an sich. Istilah “Allah” digunakan untuk menjelaskan zat atau substansi (Uluhiyah). Sedangkan istilah Rabb digunakan untuk menerangkan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam semesta (Rububiyah).
- Diskursus Tentang Nabi
Nabi Muhammad Saw adalah seorang manusia pilihan dan manusia teladan (uswah hasanah). Dalam meneladani Rasulullah Saw, Muhammadiyah senantiasa membedakan antara perbuatan yang mengandung ketetapan hukum (sunnah tasyriyah) dan perbuatan yang tidak terkait ketetapan hukum (ghairu tasyriyah). Dengan kata lain, mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan Sunnah Nabi saw dan mendinamisasikan kehidupan muamalah masyarakat dan lingkungan dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman.
- Diskursus Tentang Manusia Utama
Gambaran manusia dengan sifat-sifat utama dalam Islam selain sebagai abdullah (hamba Allah) adalah khalifatullah (wakil Allah). Penjabaran manusia sebagai khalifah selaras dengan definisi iman, yang tidak hanya pada dimensi hati (qalb) tetapi juga dimensi pernyataan (lisan) dan perbuatan (arkan). Demikian pula, manusia sebagai khalifah bukan semata-mata menyembah dan mengagungkan Allah, tetapi juga harus berbuat baik kepada manusia dan alam sebagai sifat Rabb yang menciptakan, memelihara, menjaga, memiliki, mengayomi, dan mengelola kehidupan di bumi.
- Diskursus Pandangan Hidup
Pandangan hidup Muhammadiyah terhadap realitas alam raya meyakini adanya realitas ganda (tsunaiyatil wujud), yaitu Allah menciptakan segala sesuatu sehingga Dialah wajib al-wujud, dan apa yang Dia ciptakan sebagai mumkin al-wujud. Sementara itu, ahli tasawuf mengatakan sebaliknya, yaitu realitas itu hanya satu dikenal dengan paham wahdatul wujud. Paham ini mengenalkan bahwa wujud hanya ada satu yang ditempati Allah semata dan benda-benda selain Allah hanyalah bayangan, yang hakikatnya bukan wujud.
Konsekuensi epistemologi dari paham sufi yang menganggap realitas itu hanya satu (wahdat al-wujud) adalah sulit mengembangkan ilmu pengetahuan alam. Sebab sistem epistemologi yang mereka pakai dalam memperoleh pengetahuan adalah dengan cara zauq, kesadaran batin, atau dengan cara ahwal dan maqamat untuk sampai ma’rifatullah dan meraih mukasyafah. Dari sisi aksiologisnya akan melahirkan sikap anti dunia dan menganggap kehidupan ini kotor.
Pandangan hidup Muhammadiyah menganggap bahwa realitas itu ganda (tsunaiyatil wujud) sehingga konsekuensi epistemologinya adalah dapat mengembangkan dan memperoleh pengetahuan tidak hanya dari wahyu, tapi juga dari hamparan luas alam raya. Pada level aksiologisnya, Muhammadiyah memandang bahwa dunia adalah sesuatu yang penting sebagai tempat beramal dalam rangka menuju keselamatan di akhirat. Dengan kata lain, Muhammadiyah berpandangan bahwa untuk mencapai keutamaan hidup yang berorientasi ukhrawi tidak harus meninggalkan kebutuhan duniawi.
Naskah: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS
Hits: 155