MUHAMMADIYAH.OR.ID, SINGAPORE—Perkembangan teknologi informasi tak hanya meningkatkan taraf hidup manusia, tetapi juga menciptakan apa yang disebut Manuel Castelss sebagai Masyarakat Jaringan. Pemahaman terkait masyarakat jaringan penting diketahui kader Muhammadiyah agar dapat beradaptasi dengan perubahan zaman yang begitu cepat.
“Meskipun istilah ‘masyarakat jaringan’ merupakan terma klasik namun istilah ini mengkaver semua apa yang kita rasakan saat ini. Sederhananya, masyarakat jaringan itu sebuah masyarakat di mana aktivitasnya mengorganisasi diri dan diorganisir,” ujar Wahyudi Akmaliah dalam Seminar Pra-Muktamar pada Kamis (10/03).
Peneliti BRIN yang sedang menempuh jenjang doktoral di Malay Studies Department National University of Singapore ini mengatakan, dalam pandangan Castelss, masyarakat jaringan muncul dari konvergensi sejarah tiga proses independen, yaitu: kapitalisme global, revolusi teknologi dan informasi, dan gerakan sosial. Ketiga proses independen ini bukan hanya menciptakan perubahan sosial, tapi juga berdampak pada seluruh sendi kehidupan masyarakat.
Masyarakat Jaringan dalam Konteks Indonesia
Pada era Soeharto, wujud masyarakat jaringan adalah dengan terintegrasinya Indonesia dalam Kapitalisme Global melalui pinjaman hutang dengan IMF setelah periode 1965-1966. Setelah itu, stabilitas ekonomi Indonesia didukung naiknya harga minyak (oil boom) pada tahun 1973 dan 1978. Dampak dari adanya oil boom di Indonsia adalah terciptanya masyarakat kelas menengah di Indonesia yang melek literasi dan pendidikan.
Ketika ekonomi Indonesia berangsur membaik sejak krisis 1965-1966 wujud masyarakat jaringan didukung dengan diluncurkannya Satelit Palapa pada 1976. Satelit komunikasi yang ditempatkan pada ketinggian 36.000 kilometer di atas Bumi dan dikendalikan oleh Stasiun Pengendali Utama (SPU) di Cibinong, Jawa Barat, ini menghubungkan kepulauan Nusantara. Meski ekonomi nasional dan jaringan komunikasi antar wilayah semakin membaik, namun saat itu rezim Orde Baru berulang kali melakukan penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Pada tahun 1997 Indonesia mengalami krisis ekonomi. Bersamaan dengan itu, e-mail telah hadir yang kemudian dijadikan amunisi melawan rezim Orde Baru. Pada saat itu, internet yang memfasilitasi mahasiswa untuk saling tukar informasi menjadi amunisi kolektif menumbangkan kekuasaan Soeharto dan wujud masyarakat jaringan adalah dengan terbentuknya gerakan sosial.
Mengisi Celah Algoritmik Otoritas Keagamaan
Bagi Wahyudi, meski Muhammadiyah dan NU dianggap mayoritas di negeri ini, namun gaungnya kadang kalah oleh komunitas muslim yang lebih kecil. Wacana yang dibuat kedua ormas terbesar di Indonesia tersebut kadang babak belur oleh gerakan lain yang secara kuantitas tidak seberapa. Mengapa? Sebab Ustaz-ustaz online dari beragam latar belakang orientasi keagamaan telah mendominasi algoritmik otoritas keagamaan ini.
“Misalnya Felix Siauw. Meski HTI sudah dibubarkan, kenapa dia masih bisa survive? Selama algoritmanya masuk dalam kelompok-kelompok besar masyarakat muslim Indonesia, selama itu juga kalau jualan produk akan laris. Mereka-mereka ini kemudian membangun apa yang disebut politik emosi dalam ceramahnya. Politik emosi adalah retorika mengkritik pemerintah, itu membangkitkan emosi masyarakat kelas bawah,” tutur penulis buku Politik Sirkulasi Budaya Pop ini.
Wahyudi merekomendasikan agar Muhammadiyah saat ini mulai mendokumentasikan keegiatan apapun di media sosial secara langsung dan meminta kader Muhammadiyah menyebarkannya. Selain itu, harus juga menyiapkan da’i- da’i Muhammadiyah dengan proses eksperimentasi mengisi celah algoritmik otoritas keagamaan. Tidak lupa pula menyiapkan para ahli fikih dan usul fikih menjawab tantangan isu keagamaan yang muncul dalam struktur kecerdasan buatan.
“Di era medsos, di era digita teknologi kita harus pamer menunjukkan apa yang kita lakukan. Kita harus redifinisi ulang apa itu kerja, apa itu riya. Mendokumentasikan apapun kegiatan Muhammadiyah gunanya untuk masuk algoritmik media sosial seperti google search, twitter, facebook, dan lain-lain,” kata Wahyudi.