MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Kecuali salat subuh, keempat awal waktu salat lainnya relatif mudah dikenali hanya dengan mengamati peredaran matahari. QS. Al-Baqarah ayat 187 hanya memberikan isyarat bahwa awal waktu salat subuh saat adanya benang putih (khait al-abyad) setelah munculnya benang hitam (khait al-aswad).
Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan bahwa dalam penentuan jadwal salat, apalagi salat subuh, data astronomi terpenting adalah posisi matahari di sebelah timur dalam koordinat horizon, terutama jarak zenit. Pengukuran matahari dengan acuan koordinat horizon maupun ekuator selalu merujuk pada titik pusat matahari. Sejak lama Indonesia termasuk Muhammadiyah menetapkan dip atau ketinggian matahari berada di titik -20 derajat.
Pada akhirnya, kata Syamsul, Musyawarah Nasional Tarjih ke-31 tahun 2020 memutuskan bahwa ketinggian matahari bukan berada di -20 derajat melainkan -18 derajat. Pandangan ini diperkuat dengan mayoritas ahli astronomi muslim klasik sejauh yang bisa diakses Majelis Tarjih. Karenanya, awal waktu subuh menjadi lebih lambat sekitar 8 menit dari biasanya.
“Di antara koreksi yang dilakukan Majelis Tarjih pada saat Munas ke-31 tahun 2020 ialah koreksi parameter fajar. Mengubah ketinggian matahari awal waktu subuh -20 derajat, kemudian menetapkan ketinggian awal waktu Subuh yang baru yaitu -18 derjat di ufuk bagian timur,” ujar Syamsul dalam kajian yang diselenggarakan Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Yogyakarta pada Sabtu (05/03).
Hits: 97