MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Kepemimpinan adalah amanah. Dalam banyak hal, aspek kepemimpinan atau leadership di dalam Islam yang menyangkut masalah duniawi di luar ritual keagamaan tidak berasas pada asas primordial seperti istilah ‘seiman’, ‘sesuku’, dan yang semisalnya.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti menjelaskannya melalui asbabun nuzul Surat An-Nisa ayat yang ke-58. Ayat tersebut berbunyi,
“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik pemberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat.”
Dalam pengajian PDM dan PDMP Kudus, Ahad (9/5) Abdul Mu’ti memulai dengan pengertian kata ‘ahli’ dalam ayat tersebut. Kata ‘ahli’ sendiri yang disebutkan lebih kurang 125 kali di dalam Al-Qur’an, menurut Mu’ti memiliki lima jenis pengertian.
Pertama, ahli adalah orang yang memiliki skill atau kemampuan khusus di bidang tertentu. Ahli fikih, ahli sains, ahli kedokteran, ahli matematika dan lain-lain adalah contohnya.
Kedua, ahli adalah orang yang memiliki hubungan kekerabatan. Hal ini umumnya dikenal dalam masalah waris, termasuk dalam urusan umum kekeluargaan. Pengertian ketiga, istilah ahli merujuk pada hubungan nasab berkaitan dengan silsilah keluarga.
Pengertian keempat, istilah ahli dimaknai sebagai orang yang seiman. Sehingga meskipun seseorang itu memiliki hubungan nasab dan kekerabatan maka tidak bisa disebut sebagai ahli seperti dalam kisah Nabi Nuh dan putranya yang bernama Kan’an sehingga tidak bisa diterusi waris atau menjadi wali.
Sedangkan pengertian yang kelima, ahli dimaknai sebagai penduduk negeri atau anggota komunitas tertentu.
Di antara ragam makna di atas, kata ‘ahli’ dalam An-Nisa ayat ke-58 menurut Mu’ti adalah merujuk pada definisi pertama, yakni skill atau kemampuan tertentu yang spesifik.
Asbabun Nuzul Ayat
Abdul Mu’ti pun lantas mengutip beberapa kitab tafsir. Latar belakang turunnya ayat tersebut berkaitan dengan peristiwa Fathu Makkah atau penaklukan kota Makkah yang terjadi pada 11 Januari 630 Masehi.
“Pada saat terjadi Fathu Makkah itu banyak hal yang terjadi salah satunya adalah pada saat Nabi masuk Makkah, beliau ingin salat di Masjidil Haram, tepatnya di dalam Ka’bah. Tapi pada saat itu terkunci dan yang pegang kuncinya adalah Usman ibn Thalhah,” terang Abdul Mu’ti membawakan riwayat sahabat Ibnu Abbas ra.
Usman sendiri adalah seorang penganut Nasrani. Sesuai riwayat itu, dikisahkan Ali ibn Abi Thalib berusaha merebut kunci dengan paksa. Saat pintu Ka’bah terbuka, Rasulullah segera salat dua rakaat.
“Dalam Tafsir Departemen Agama, Rasulullah salat dua rakaat. Lalu beliau keluar. Paman beliau, Abbas ibn Abdul Muthalib meminta supaya diberikan jabatan sebagai pemegang kunci Ka’bah dan menjadi orang yang bertanggungjawab pada pelayanan air jamaah haji,” jelas Mu’ti.
Abdul Mu’ti lantas menuturkan riwayat dari Imam Suyuthi bahwa atas kejadian ini turunlah ayat ke-58 Surat An Nisa di atas. Rasulullah pun meminta kunci itu dari Ali ibn Abi Thalib dan menolak permintaan pamannya.
Sebaliknya Rasulullah mengembalikan kunci Ka’bah pada Usman ibn Thalhah dan menyuruh Ali ibn Abi Thalib untuk meminta maaf.
Berbeda dengan riwayat di atas, Al-Maraghi dalam tafsirnya menurut Mu’ti menyampaikan penuturan berbeda. Al-Maraghi hanya mencatat bahwa Rasulullah tawaf di Ka’bah dan Jibril turun mewahyukan ayat tersebut.
“Perbedaan asbabun nuzul ini memiliki isi yang sama. Yaitu peristiwa yang berkaitan dengan Usman ibn Thalhah sebagai pemegang kunci Ka’bah dan perintah pada Nabi untuk menyerahkan kunci itu pada Usman sebagai orang yang memiliki keahlian yang terkait dengan amanat atau jabatan sebagai pemegang kunci Ka’bah itu,” jelas Mu’ti.
“Tapi dalam kaitan dengan posisinya sebagai pemegang kunci Ka’bah, Usman ini dianggap lebih ahli, lebih punya kemampuan dan bisa menjaga amanah dibanding keluarga Nabi sendiri yaitu Abbas ibn Abdul Muthalib.
Meritokrasi Sebagai Asas Islam
Ditarik dalam konteks kepemimpinan, pemaknaan kata ‘ahli’ selaras dengan masalah kepemimpinan dan amanah sebagaimana hadis riwayat Bukhari yang mencatat bahwa Nabi menjawab pertanyaan seorang Badui bahwa suatu perkara akan menghadapi kehancuran jika diserahkan pada yang bukan ahlinya.
“Apabila sebuah urusan atau pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka bersiaplah menghadapi hari kiamat” (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, Islam dalam memandang kepemimpinan menurut Abdul Mu’ti lebih mengutamakan pada kemampuan dan karakter amanah. Bukan pada unsur identitas dan populis seperti golongan tertentu, lebih-lebih sistem feodal yang mengutamakan nasab atau hubungan darah.
Nabi sendiri, bahkan menolak permintaan pamannya sendiri yang muslim, Abbas ibn Abdul Muthalib untuk memimpin pengelolaan Ka’bah dan Haji dan tetap memberikannya pada Usman ibn Thalhah yang Nasrani.
“Karena itu dalam Islam, nasab tidak selalu menentukan nasib. Karena nasib ditentukan oleh kasab atau ketekunan dalam bekerja. Dalam Islam, seseorang itu bisa menjadi apapun atau menjadi siapapun. From zero to hero,” jelas Abdul Mu’ti.
“Bahkan bagi pemimpin itu bisa berasal dari siapa saja asalkan punya kemampuan dan memang dipilih oleh kaum muslimin atau masyarakat,” pungkasnya.