MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Secara umum penentuan awal bulan kamariah bisa dicapai melalui dua cara, yaitu rukyat dan hisab. Hanya saja, pada masa kenabian, penentuan awal bulan selalu didasarkan melalui rukyat.
Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Rahmadi Wibowo menilai kuatnya penggunaan rukyat di masyarakat ditenggarai dari hadis Nabi yang berbunyi, “Berpuasalah kamu karena melihat hilal (liru’yatih) dan beridulfitrilah karena melihatnya (liru’yatih).”
Apabila memaknai hadis tersebut secara harfiyah, maka hasilnya akan problematis. Dengan melihat konteks ketika hadis itu diucapkan, umat Islam masih menjadi komunitas kecil yang tidak mungkin akan menemui perbedaan awal bulan.
Selain itu, Rahmadi menjelaskan bahwa bahwa alasan utama pada masa kenabian menggunakan rukyat karena ada kemungkinan sebagian besar sahabat Rasulullah adalah bangsa ummi atau golongan masyarakat yang belum mahir membaca dan menulis.
Karenanya dosen Universitas Ahmad Dahlan ini menerangkan bahwa rukyat hanya menjadi instrument-paratekstual, dan bukan bagian dari ibadah mahdlah, sehingga mengganti rukyat ke hisab hanya mengganti alat, bukan mengubah ibadah puasa Ramadan atau Idul Fitri.
“Semangat al-Quran dan al-Hadis adalah menggunakan hisab. Penyebutan matahari, bulan, dan lain-lain bukan sekadar informasi, melainkan manfaat yang bisa digunakan manusia dalam hal ini pengorganisasian waktu atau kalender,” terang Rahmadi dalam Lensamu Podcast pada Selasa (16/03).
Alasan lain Muhammadiyah menggunakan metode hisab, kata Rahmadi, karena dapat memprediksi jauh-jauh hari kapan bulan baru akan jatuh dan selalu mengumumkan keputusan secara terbuka sebelum sidang isbat digelar. “Kalau hisab mungkin dia bisa memprediksi kapan jatuhnya bulan baru bahkan ratusan tahun yang akan datang,” kata Rahmadi.
Muhammadiyah tidak memungkiri bahwa adanya perbedaan metode awal bulan berpotensi membawa pada perbedaan pendapat atau produk fatwa, termasuk berbeda dengan keputusan pemerintah. Terkait dengan hal ini Rahmadi mengatakan bahwa Muhammadiyah menghormati perbedaan keputusan.
“Perbedaan itu misalnya ada ormas lain atau kelompok lain yang berbeda kita menghormati juga. Apalagi dipahami bahwa penentuan awal bulan ini kan ijtihadi, selama kemudian konsisten menggunakan manhajnya,” ujar Rahmadi.
Definisi Ulil Amri
Rahmadi juga merespon berbagai kalangan yang sering mengemukakan bahwa Muhammadiyah tidak taat dengan Ulil Amri. Bagi mereka, Ulil Amri itu adalah pemerintah. Dengan demikian, apabila Pemerintah sudah menetapkan awal bulan Ramadan dan Syawal, maka semua umat Islam harus mematuhinya berdasarkan QS. An-Nisa’ ayat 59.
“Apakah Ulil Amri ini pemerintah? Kalau melihat tafsirnya memang banyak sekali, ada yang menyebut pemerintah yang berkuasa. Tapi ada penafsiran juga yang intinya siapapun yang diberi wewenang tugas tertentu. Misalnya, sekuriti dia Ulil Amri dalam hal keamanan,” terang Rahmadi.
Muhammadiyah sendiri memandang Ulil Amri adalah pihak-pihak yang diberi wewenang atau otoritas dalam suatu hal. Hal ini sejalan dengan pandangan Muhammad Abduh yang mengatakan bahwa Ulil Amri adalah jamaah ahlu al-halli wa al-‘aqdi dari kaum Muslimin. Mereka adalah pemerintah (umara’) dan penguasa (hukama’), ulama, para panglima, dan semua pemimpin masyarakat.
Dengan menggunakan defenisi Muhammad Abduh, maka Ulil Amri itu mencakup mulai dari pemegang kekuasaan dengan segala perangkat dan wewenangnya yang terbatas. Ulil Amri juga mencakup para ulama, lembaga-lembaga fatwa dan semua pemimpin masyarakat dalam bidangnya masing-masing.
“Ini bukan soal sama atau tidak sama, tapi terkait dengan memahami agama, termasuk juga apakah yang ditawarkan itu menggunakan manhaj atau cara ijtihad yang tepat?”