Prof. Siti Syamsiyatun
Kita semua melihat, menikmati dan memaknai kejadian alamiah dan sosial menggunakan lensa dan nalar yang terbatas, sesuai dengan asupan yang kita peroleh dan tersimpan dalam diri. Asupan yang pertama umumnya dari kultur yang sudah melembaga di lingkungan keluarga dan masyarakat terdekat. Asupan yang kedua, bagi banyak orang adalah agama atau ilmu pengetahuan. Dengan bekal perangkat konsep-konsep, nilai-nilai dan ide-ide yang dikudap itu, kita memandang, serta merespon dan memaknai semesta.
Ada yang memandang manusia adalah bagian dari alam dan memiliki kedudukan yang sama dengan makhluk yang lain seperti binatang, tumbuhan, gunung, samudera, angin dan sebaginya. Sebagian lain memandang bahwa manusia memiliki ‘perangkat istimewa’ yang tidak dimiliki oleh makhluk yang lain. Rasa istimewa itu menimbulkan pandangan bahwa alam semesta sebagai makrokosmos, dan manusia sebagai mikrokosmos. Sebagian lagi lebih jauh dari itu, bahwa manusia yang berjenis kelamin laki-laki memiliki keunggulan kodrati atas manusia yang berjenis perempuan. Inilah yang kerap menjadi pangkal dari dari banyak prahara dalam relasi dan keberpasangan laki-laki dan perempuan yang akan kita bincang.
Alam dalam imaginasi kultur dan agama
Ayat-ayat dalam Al-Qur’an memberitakan bahwa keberadaan semesta dan segala yang ada diantara langit dan bumi adalah sebagai penanda Kuasanya Allah SWT. Segala makhluk bertasbih, tunduk, mensucikan NamaNya. Untuk melangsungkan kehidupan di alam raya Allah SWT memberkati dengan ekosistem yang indah dan kompleks. Salah satu diantaranya adalah bahwa semua makhluk dicipta dengan berpasangan-pasangan. Ada banyak ayat Al-Qur’anyang mengabarkan keajaiban ini, diantaranya:
Q.S 13 [Ar-Ra’du]:3 “Dan Dia yang menghamparkan bumi dan menjadikan gunung-gunung dan sungai-sungai di atasnya. Dan padanya Dia menjadikan semua buah-buahan berpasang-pasangan; Dia menutupkan malam kepada siang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berpikir.”
Kita dapat menyaksikan bagaimana harmonisnya hubungan timbal balik dari pasangan-pasangan di semesta ini yang membuat kehidupan berlangsung dengan indahnya. Kita nikmati misalnya harmoni langit berpasangan dengan bumi, malam berpasangan dengan siang, gelap berpasangan dengan terang, binatang jantang berpasangan dengan betina, putik bunga berpasangan dengan serbuk bunga, termasuk manusia laki-laki berpasangan dengan perempuan.
Q.S 53 [An-Najm]:45 “dan sesungguhnya Dialah yang men-ciptakan pasangan laki-laki dan perempuan”
Q.S 39 [Az-Zumar]:6 “Dia menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam) kemudian darinya Dia jadikan pasangannya dan Dia menurunkan delapan pasang hewan ternak untukmu. Dia menjadikan kamu dalam perut ibumu kejadian demi kejadian dalam tiga kegelapan. Yang (berbuat) demikian itu adalah Allah, Tuhan kamu, Tuhan yang memiliki kerajaan. Tidak ada tuhan selain Dia; maka mengapa kamu dapat dipalingkan?”
Keadilan Gender untuk Perubahan Visi Ekologis
Ayat-ayat kauniyah yang dapat kita saksikan mewujud dalam benda dan kondisi kealaman, yang berpasangan-pasangan itu menjalankan fungsi-fungsi yang saling menopang dan sama pentingnya untuk melangsungkan kehidupan di jagad raya.
Manusia yang diberi kelebihan untuk ‘berpengetahuan dan memberi nama’ (lihat Q.S. 2 [Al-Baqarah]: 30-37) atas fenomena alam, lantas membangun tafsir atas pasangan hidupnya dan atas alam raya. Catatan sejarah menunjukkan bahwa selama ribuan tahun manusia laki-laki lebih berhasil dalam memprojeksikan persepsi mereka atas keberpasangan ini, dan mengkonstruksinya sebagai kenyataan obyektif untuk diterima oleh semua, utamanya perempuan.
Manusia membuat pencitraan, pemilahan dan penilaian atas apa yang dilakukan oleh beragam makhluk Allah dan membuat ordinasi beradasarkan kepentingan. Sebagai contoh, langit, siang, dan terang dicitrakan sebagai atribut laki-laki, sementara bumi, malam dan gelap sebagai citra atribut perempuan. Selama pencitraan dari pasangan ini tidak mengunggulkan atau merendahkan yang lain, seperti jalannya semesta, maka asosiasi itu tidak terlalu bermasalah.
Kenyataannya, citra pasangan yang berbeda itu kemudian diberi nilai. Umumnya citra laki-laki dianggap memiliki nilai yang lebih baik, lebih unggul dari perempuan. Citra laki-laki sebagai matahari, terang, siang, penjelajah angkasa, dan perambah hutan ‘perawan’, penguasa bumi dan isinya dianggap lebih penting dan unggul daripada perempuan yang dicitrakan sebagai rembulan, gelap, malam, dan bumi. Gelap dan malam selalu dihubungkan dengan bahaya, keburukan, dan godaan. Bumi dengan hutan rimbanya dipandang sebagai perawan liar untuk ditaklukkan.
Apa dampak dari pandangan yang bias gender tersebut? Orang yang berkuasa, yang memiliki teknologi merasa berhak untuk menaklukkan, dan mengeksploitasi alam, dan akhirnya juga menaklukkan dan mengeksploitasi perempuan karena kesejajaran citra itu.
Tangis pilu perempuan atas banyak diskriminasi yang dirasakannya berabad-abad, nampaknya sejalan dengan tangisan bumi yang kehilangan rahim-rahim pelanjut hidup sehatnya seperti hutan, flora fauna, udara segar, sumber air, dan tambang-tambang yang memperkokoh.
Eksploitasi Rahim perempuan melalui praktik-praktik kekerasan dan kejahatan seksual atas nama apa pun sebenarnya mengancam sendi kehidupan manusia semuanya, laki-laki dan perempuan. Pandangan dan perlakuan yang adil gender dan saling menghormati atas femininitas, keperempuanan dan maskulinitas, kelelakian menjadi salah satu cara penting untuk menjaga keselamatan Rahim kehidupan ini.
Editor: Fauzan AS
Hits: 17