MUHAMMADIYAH.OR.ID, AMERIKA SERIKAT—Tema tentang Islam dan Modernism menurut Anggota Dakwah dan Dialog Antar Agama Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat, Imam Subkhan adalah tema yang relevan sepanjang masa.
Sejak kemunculan modernism, kata Imam, para intelektual muslim dari berbagai belahan dunia tidak pernah habis membicarakannya, baik mereka yang menolak maupun yang menerima modernism. Hal ini menjadikan modernism menjadi discourse utama.
Imam menjelaskan, jika disimplifikasi relasi antara Islam dengan Modernisasi terbagi menjadi beberapa aliran. Pertama adalah kelompok yang menerima atau mengakomodasi modernisme dalam semangat Islam. Bahkan mereka ada yang menjadikan modernism sebagai peran vital dalam kerangka kemajuan umat muslim.
“Tesisnya adalah bahwa umat muslim mengalami kemunduran itu karena dia gagap untuk mengadopsi nilai-nilai modernism. Kemudian tesisnya adalah tidak ada jalan lain kecuali bagaimana merengkuh, mengadopsi nilai-nilai modernism,” ungkapnya pada (21/8) dalam Pengajian yang diadakan oleh PCIM Amerika Serikat.
Sementara, modernism menurutnya terbagi menjadi tiga pembahasan pokok yakni tentang individualism, reason (kekuatan akal), dan saintifik atau sekularisasi di bidang politik.
Dalam konteks keindonesiaan, Imam menyebut bahwa Muhammadiyah merupakan bagian dari modernism. Diantara sebabnya adalah jka dilacak genealogi kelahiran Muhammadiyah, pendirinya terinspirasi oleh pemikir Islam modern seperti Muh Abduh, Rasyid Ridha, dan lainnya.
Menurutnya yang unik dengan gerakan modernisasi Islam di Indonesia yang diejawantahkan oleh Muhammadiyah adalah kerenggangan jaraknya dengan politik praktis. Meski di masa awal Muhammadiyah sempat dengan Partai Masyumi, namun kemudian keluar dan fokus pada gerakan sosial, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain.
Kedua adalah kelompok tradisional yang kerap dianggap menolak modernism. Meski simplifikasi kedua ini dianggap kurang tepat oleh beberapa pemikir Islam. Kelompok kedua ini menolak modernisme dengan dalih bahwa modernisasi adalah penyakit bagi umat muslim.
“Mereka bisa tercemari oleh modernism, sehingga mereka menjaga nilai-nilai tradisi, memegang kuat,” ungkapnya.
Diantara dua kelompok ini kemudian muncul tipologi gerakan Islam yang disebut sebagai neo-modernism dan neo-tradisionalisme.
Dikesempatan ini Imam juga menyarankan yang ingin tahu lebih dalam tentang gerakan modernisme Islam di Indonesia untuk merujuk buku hasil disertasi Deliar Noer yang berjudul “Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942”.