MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Pendidikan nasional diharapkan membentuk para siswa memiliki identitas Kebhinekaan dan Keindonesiaan yang kuat. Pada konteks ini, penguatan identitas itu bisa didorong lewat pendidikan bahasa daerah.
Sayangnya, harapan itu justru berbeda dengan kenyataan. Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengungkapkan bahwa akibat dari pragmatisme dunia pendidikan, saat ini justru banyak para siswa yang kehilangan kemampuan berbahasa daerah asalnya.
“Kita bisa mahir berbahasa Inggris, tapi jangan sampai kita tidak bisa berbahasa daerah. Ini sesuatu yang juga menjadi keprihatinan kita karena beberapa riset menunjukkan banyak generasi sekarang ini yang tidak bisa lagi berbahasa daerah,” tuturnya dalam forum webinar PB PGRI dengan tema Refleksi 76 Tahun Pendidikan Nasional, Sabtu (28/8).
Abdul Mu’ti menilai bahwa banyaknya generasi muda yang tak mampu berbahasa daerah asal sukunya masing-masing adalah kehilangan besar bagi pengembangan jati diri sebuah bangsa.
Dirinya juga menganggap ironis ketika negara lain yang multi kultur mulai mengembangkan pendidikan multi bahasa sejak pendidikan dini, di Indonesia justru malah memprioritaskan bahasa asing.
“Padahal itu adalah kekayaan yang harus kita rawat melalui pendidikan sehingga bolehlah kita itu mahir berbahasa Arab, Inggris hingga Mandarin, tapi bahasa yang kita miliki ini dengan segala kekuatannya sebagai culture, itu harus tetap kita wariskan,” pesan Mu’ti.
“Untuk membangun pendidikan masa depan, harus kita perkuat karakter bangsa itu dan karakter itu. Saya yakin dari warisan yang dimiliki oleh bangsa ini baik berupa nilai-nilai budaya, nilai-nilai moralitas yang luhur, dan kekayaan alam yang kita miliki, dan teknologi dengan segala kecanggihannya itu adalah bagian dari upaya kita untuk menggali potensi-potensi ini lebih tampak kuat tentu dengan lebih berkemajuan,” pungkasnya.
Hits: 1